MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA– Melalui wadah diskusi buku “Islam, Authoritarianism, and Underdevelopment: A Global and Historical Comparison’’ Karya Ahmet T Kuru yang diterbitkan oleh Cambridge University Press tahun 2019. Kader muda Muhammadiyah diaspora yang sedang menempuh pendidikan lanjut di luar negeri melihat Islam Indonesia dan Muhammadiyah dari jauh.
Dalam diskusi yang digelar Pimpinan Cabang Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (PC IMM) AR Fachruddin DIY pada (22/10) tersebut, Moh Nizar, Mahasiswa Ph.D Universitas Utara Malaysia mengulas tesis utama Kuru mengenai kemunduran Dunia Islam di dalam bukunya. Pertama, bahwa tidak ada yang salah dengan ajaran Islam dan sejarah telah membuktikan bahwa ajaran Islam itu compatible dengan kemajuan zaman, misalkan di abad ke-7 sampai 10 M.
Kedua, kolonialisme bukanlah sumber utama kemunduran dunia Islam, karena sebelum adanya kolonialisme pun, negara-negara berpendudukan mayoritas muslim sudah memiliki masalah. Dan terakhir, kemunduran dunia islam itu sebetulnya terjadi akibat adanya aliansi antara ulama dengan militer, dan tidak adanya ruang bagi kaum intelektual dan pengusaha muslim untuk membangun dinamika sosial-ekonomi di tengah-tengah masyarakat.
“Oleh karenanya, kemajuan di Dunia Islam itu akan lahir apabila masyarakat bisa melahirkan, ulama, intelektual , dan pengusaha muslim independen yang siap melakukan contour power terhadap pemerintah, apabila pemerintah tersebut tidak sesuai dengan yang seharusnya. Itulah argumentasi Kuru” jelas Nizar.
Sementara itu melihat secara kritis, dalam konteks Indonesia, Zain Maulan mahasiswa Ph.D Universitas of Leeds, UK menemukan adanya kecenderungan menguatnya aliansi politik-ulama bisa membahayakan bagi demokrasi di Indonesia. Terutama ketika, basis masa dari ulama tersebut menjadi alat legitmasi dari kebijakan pemerintah dan siap berhadapan dengan kelompok Islam lain yang mencurigai kebijakan pemerintah ditunggagi oleh kepentingan oligarki.
“Di tambah, di Indonesia juga kecenderungannya kelompok Islamist-politik, seperti dalam kasus gerakan 212, Pilpres 2019, dan Pilkada DKI, ingin mengambil alih peran oposisi yang biasanya dilakukan oleh partai politik,” tandas Zain.
Di sisi lain, secara spesifik Faris Al-Fadhat mahasiswa Ph.D dari Murdoch University, AUS melihat, apa yang dilakukan oleh Muhammadiyah di Indonesia, sebagai bagian dari narasi besar gerakan pembaharuan dunia Islam, melalui Lembaga Pendidikannya sudah on the track dalam melahirkan intelektual independen yang bisa menjadi kontrol terhadap pemerintah.
“Kalau kita lihat, perguruan tinggi Muhammadiyah itu tidak hanya berhasil mencerdaskan generasi muda di Indonesia, tapi juga melahirkan intelektual Independent. Coba anda bayangkan berapa PhD, Doktor, dan Professor (muslim), yang dimiliki kampus-kampus besar Muhammadiyah seperti UMY, UAD, UMS, dll”. Tanya Faris.
Selain itu, menurut Faris, laku independen Muhammadiyah pun bisa dilihat dari bagaimana kemampuan kampus-kampus Muhammadiyah dalam menyekolahkan intelektualnya dengan pembiayaan mandiri tanpa sepenuhnya tergantung terhadap beasiswa dari Pemerintah.
“Ditambah, dengan dinamika intelektual yang ada di internal organisasi, baik IMM maupun IPM, telah banyak melahirkan tokoh intelektual. Jadi peran Muhammadiyah itu sudah luar biasa,” tambah Faris.
Akan tetapi, Faris memberikan catatan bahwa di dalam melahirkan kaum borjuasi atau pengusaha muslim, Muhammadiyah itu memiliki tantangan tersendiri di tengah kuatnya arus kapitalisme yang menguasai sektor-sektor ekonomi penting di Indonesia.
“Jadi, pengusaha Muhammadiyah itu, atau bahkan pengusaha Muslim di Indonesia, akan sangat berat untuk bisa bersaing dengan konglomerat-konglomerat group besar, yang telah lama dan malang melintang melakukan aktivitas bisnisnya di Indonesia”. Tandas Faris.