Jihad sunyi melawan pandemi ala Muhammadiyah membuktikan dua hal. Pertama, sebagai organisasi Islam, Muhammadiyah semakin berpengalaman dalam menghubungkan antara misi keagamaan dan situasi krisis gawat darurat. Kedua, visi keislaman Muhammadiyah semakin sigap merespon problem kemanusiaan. Singkatnya bahwa Muhammadiyah menemukan identitas baru sebagai gerakan kemanusiaan, dalam pengertian yang praktis dan mendalam. Praktik keagamaan sosial Muhammadiyah bukan saja dirasakan oleh warga muslim, tapi juga warga beragama dan penghayat lainnya.
Jika ada pepatah yang tepat bagi sikap Muhammadiyah, maka kalimat itu adalah perkataan lisan sahabiyah Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam, Asma’ binti Abu Bakar yang berbunyi, “hidup mulia atau mati syahid” (isy kariman au mut syahidan). Makna frasa ini berkaitan dengan sebuah komitmen untuk berjuang sampai tuntas. Semulia-mulianya. Jika meminjam bahasa Kiai As’ad Syamsul Arifin saat diserang oleh para penjajah, maka kalimatnya menjadi, “maju selangkah surga, mundur selangkah neraka.”
Tidak ada pilihan mulia lain selain berjuang dan melawan, demikian jalan perjuangan yang dipilih oleh Muhammadiyah. Tidak peduli apakah ada sorotan, atau justru sunyi dan tak didengar oleh khalayak ramai. Muhammadiyah tetap setia menganut watak KH Ahmad Dahlan yang pada 1962 disebut oleh Presiden Soekarno sebagai ‘Manusia Amal.’ Sibuk bekerja daripada sibuk klaim dan retorika.
Hingga 23 Oktober 2020, Muhammadiyah dalam perjuangan melawan pandemi tercatat telah menghabiskan dana sedikitnya 307 Milyar rupiah, menargetkan pembagian 1 juta sembako hingga akhir tahun, melibatkan 82 Rumah Sakit Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah, merawat lebih dari 3.968 pasien positif Covid-19, dan kehilangan sedikitnya 6 perawat dan 1 orang dokter yang gugur dalam bertugas.
Jejak Muhammadiyah Melawan Pandemi
Pada Selasa, 30 Juni 2020, viral hasil survei salah satu lembaga yang menyatakan bahwa Muhammadiyah menjadi organisasi kemasyarakatan paling peduli dalam mitigasi Covid-19, mengungguli ormas lain di bidang keagamaan, profesi hingga kebencanaan di seluruh Indonesia.
Sebelumnya, pada akhir Maret seorang Indonesianis pakar gerakan keagamaan asal Universitas Arizona Amerika Serikat, Mark Woodward memuji pandangan keagamaan Muhammadiyah dalam merespon pandemi. Apa yang dilakukan Muhammadiyah menurutnya adalah teladan bagi gerakan keagamaan di manapun.
Sebagai contoh, ketika 2 Maret 2020 Presiden Joko Widodo mengumumkan bahwa pandemi Covid-19 telah menyebar di Indonesia, Muhammadiyah langsung menyambut pengumuman keadaan genting tersebut tidak hanya dengan mengeluarkan sikap dan fatwa keagamaan saja yang sebatas formalitas organisasi, tetapi juga membentuk lembaga khusus untuk menangani pandemi.
Pada tanggal 5 Maret 2020, PP Muhammadiyah secara resmi membentuk Muhammadiyah Covid-19 Command Center (MCCC) sebagai gugus tugas penanganan pandemi, mendahului Pemerintah Indonesia yang baru membentuk Gugus Tugas Penanganan Covid delapan hari kemudian (13 Maret 2020).
Bersamaan dengan terbentuknya MCCC, Muhammadiyah menginstrusikan dan melibatkan seluruh komponen Persyarikatan dari 27.500 lembaga pendidikan dari TK/PAUD hingga SMA, termasuk 165 Perguruan Tinggi, masjid maupun organisasi otonom pun turut digerakkan untuk memaksimalkan berbagai program MCCC.
Pada 23 Oktober, MCCC melaporkan bahwa sedikitnya 25.446.240 masyarakat Indonesia telah menjadi penerima manfaat berbagai program Muhammadiyah dalam penanganan pandemi dari layanan sosial, kesehatan, klinik psikososial, beasiswa pandemi, kuota gratis, hingga program jangka panjang yakni ketahanan pangan.
Lebih jauh, Muhammadiyah bahkan dengan besar hati memundurkan jadwal gelaran Muktamar yang sedianya dilakukan bulan Juni diundur menjadi akhir tahun, kemudian direvisi kembali menjadi tahun 2022 memperhatikan kajian dan saran dari MCCC dan ahli epidemiologi.
Tanggung Jawab Kebangsaan, Tanggung Jawab Keagamaan
Memasuki bulan ke delapan persebaran pandemi Covid-19 di Indonesia yang masih berlarut-larut. Tidak mengejutkan jika Muhammadiyah memberikan kritikan tajam terhadap kinerja pemerintah yang dianggap telah bekerja keras namun belum maksimal (21/9).
Apa yang disuarakan oleh Muhammadiyah, tentu bukan sekadar bunyi tong kosong, tetapi sepadan dengan pengorbanan yang telah dilakukan secara nyata di tengah masyarakat luas.
Ketika Pemerintah nampaknya mulai putus asa melawan pandemi dengan cara melonggarkan PSBB, Muhammadiyah bahkan berani secara terbuka untuk menyatakan menolak berdamai dengan Covid-19 (21/5), termasuk meminta konsistensi dan komitmen pemerintah dalam melawan pandemi dengan cara menunda pelaksanaan Pilkada Serentak (21/9).
Di luar MCCC, seluruh agenda pelayanan umat milik Persyarikatan tetap berjalan dengan penyesuaian baru di masa pandemi. Lembaga Penanggulangan Bencana Muhammadiyah (Muhammadiyah Disaster Management Center, MDMC) misalnya tetap melaksanakan pelayanan bencana alam di berbagai tempat musibah.
Meski Muhammadiyah telah all out dalam berjuang, sorotan terhadap peran organisasi Keislaman dalam keterlibatan melawan pandemi dinilai jauh dari kata cukup. Dalam agenda pusat kajian strategis CSIS, Rabu (28/10) Wakil Ketua MDMC Rahmawati Husein mengeluhkan minimnya pembahasan tentang peran organisasi seperti Muhammadiyah yang telah memberikan dampak signifikan dalam penanganan pandemi.
Pada akhirnya, meskipun tanpa sorotan satu orang pun Muhammadiyah dipastikan akan tetap bergerak secara totalitas sesuai dengan watak gerakannya. Tanpa mengaku-aku sebagai paling Pancasilais atau menegasikan yang lainnya.
Pilihan tidak populis Muhammadiyah untuk berjihad dalam senyap bukan karena keinginan untuk mendapatkan nama besar, tetapi karena kesadaran keagamaan yang diajarkan oleh KH Ahmad Dahlan, serta kesadaran bahwa dalam sejarah panjang eksistensi bangsa Indonesia, Muhammadiyah memiliki peran penting dalam mewujudkan kemerdekaan dan mempertahankannya.
Berjihad dalam sunyi melawan pandemi, adalah satu dari sekian kesaksian Muhammadiyah mewujudkan makna syahadah dalam pijakan kebangsaan Muhammadiyah hasil Muktamar Makassar 2015.
Memberikan amal nyata membangun negeri adalah kewajiban, keniscayaan untuk merawat sejarah dan pengorbanan yang telah dilakukan oleh para pendahulu Muhammadiyah dalam mewujudkan negeri Indonesia yang diimpikan sebagai Darus Salam, negeri yang damai dan penuh rahmat Tuhan.
Editor: Fauzan AS
Hits: 11