MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA — Sebagai manusia normal, emosi merupakan sebuah keniscayaan. Manusia tanpa emosi bagaikan sebuah patung. Maka dari itu diperlukan yang diperlukan oleh manusia adalah cara bagaimana untuk mengendalikan emosi.
Demikian pesan yang disampaikan oleh Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nashir kepada seluruh jamaah Syawalan Keluarga Besar Universitas Ahmad Dahlan (UAD) pada, Sabtu (29/4) di Masjid Islamic Center UAD.
Pengendalian emosi, imbuh Haedar, seringkali tidak terkait ilmu. Maka tidak jarang kita menemukan ilmuwan yang tidak dapat menahan emosinya. Sampai-sampai ilmuwan tersebut mengeluarkan ancaman, kata-kata dan berbagai hal sebagai pelampiasan atas emosi yang dia miliki.
“Ini yang biasa saya sebut ilmunya tidak menyinari kalbunya. Tidak menyinari atau mencerahkan akal budinya,” kata Haedar.
Menahan marah ini juga sebagai salah satu ciri takwa yang disebutkan dalam Al Qur’an. Merujuk kata-kata mutiara Jalaludin Rumi, Haedar mengatakan bahwa marah merupakan ibu dari segala berhala, betapa banyak orang sukses dan berprestasi dalam hidup, tapi gagal dalam menahan marah.
“Maka jangan bereaksi dikalah marah, endapkan dulu. Tetap berilmu, tetap beradab, mencerahkan agar tidak melawan ketidakberadaban dengan perilaku yang sama. Reaksi boleh, karena kalau tanpa reaksi kita diperlakukan sewenang-wenang. Tetapi tetap terukur.” Kata Haedar.
Ciri takwa yang selanjutnya adalah memberikan maaf, yang berelasi dengan meminta maaf. Ini aksi dan reaksi. Akan tetapi karena ego yang selalu merasa benar, menjadikan manusia susah untuk meminta maaf. Haedar mencontohkan cara meminta maaf seorang ilmuwan yang baru terjadi belakangan atas kegaduhan yang diciptakan.
Menurutnya, belajar dari kasus itu, permintaan maaf yang tulus disampaikan bukan dengan kata-kata pembelaan atau pengakuan kesalahan. Karena egonya selalu merasa benar, alih-alih mengakui kesalahannya, orang itu malah ngeles — merasa tidak bersalah. Dalam ilmu logika, perilaku tersebut merupakan logical post factum.
“Logical post factum itu mencari pembenaran atas langkah yang salah. Bahkan dalam teori filsafat disebut dengan falsifikasi. Falsifikasi itu mencoba mencari berbagai rangkaian narasi untuk membenarkan kesalahan-kesalahan,” tutur Haedar.
Di sisi lain, sebagai muslim yang bertakwa juga harus mudah memberikan maaf. Namun, jika kesalahan itu disengaja dan dilakukan berulang-ulang maka maaf tetap diberikan, karena itu urusan rohani. Tetapi kalau keadaan menghendaki ada proses untuk tindakan hukum dan lain sebagainya, itu tetap baik.
“Kalau ada orang bikin onar di tatanan masyarakat yang tertib, ada wilayah sosial dan moral, ada wilayah hukum dan tertib sosial. Wilayah sosial dan moral bisa saling memaafkan, wilayah tertib sosial dan hukum itu ada wilayahnya sendiri. Semuanya punya proporsinya.” Tegas Haedar Nashir.
Hits: 1839