MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA—Puasa Ramadan merupakan ibadah yang diwajibkan bagi segenap orang-orang mukmin. Spirit ibadah puasa Ramadan ini perlu untuk terus ditingkatkan. Namun, peningkatan spirit puasa harus ditopang dengan ilmu agar tidak terjebak pada pemahaman dan dasar keagamaan yang keliru.
Pasalnya, menurut Ketua Divisi Fatwa dan Pengembangan Putusan Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Ruslan Fariadi, tidak sedikit pemuka agama yang menyampaikan hadis-hadis lemah bahkan palsu terkait puasa Ramadan. Agar terbebas dari pemahaman yang keliru, berikut hadis-hadis lemah seputar ibadah di bulan suci Ramadan.
Pertama, hadis tentang hubungan puasa dan kesehatan. Hadis tersebut berbunyi: “Berpuasalah, (niscaya) kalian akan sehat.” Hadis ini diriwayatkan Abu Nu’aim di At Thibb al-Nabawi sebagaimana dikatakan Al Hafidz al Iraqi di Takhrij al-Ihya. Hadis ini lemah, bahkan ada ulama yang menegaskan bahwa hadis ini palsu.
“Jika terdapat penelitian ilmiah yang menunjukkan bahwa puasa itu dapat menyehatkan tubuh, maka secara ilmiah dapat dibenarkan, namun tidak boleh dianggap sebagai Sabda Nabi Saw,” ucap Ruslan dalam kajian jelang buka puasa di Masjid Islamic Center Universitas Ahmad Dahlan pada Ahad (02/04).
Kedua, hadis tentang tidurnya orang berpuasa. Hadis tersebut berbunyi: “Tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah, diamnya adalah tasbih, doanya dikabulkan, dan amalannya pun akan dilipatgandakan pahalanya.” Hadis ini diriwayatkan al Baihaqi di Syu’ab al-Iman dengan kualitas lemah.
“Tidak semua tidur itu bernuansa ibadah, malah bisa makruh. Kalau misalnya dari pagi hingga sore tidur terus, hanya bangun untuk salat. Ini bukan ibadah, tapi justru telah menghilangkan kesempatan-kesempatan yang sangat banyak untuk melaksanakan amal saleh,” terang Ruslan.
Ketiga, hadis tentang pembagian Ramadan menjadi tiga. Bunyi hadis tersebut: “Adalah bulan Ramadhan, awalnya rahmat, pertengahannya maghfiroh, dan akhirnya pembebasan dari api neraka.” Hadis ini diriwayatkan Ibnu Khuzaimah, dan didhaifkan oleh sejumlah pakar hadis seperti Abu Muhammad Al Mundziri, bahkan ada yang menilainya sebagai hadis munkar yang tidak boleh diyakini.
“Hadis munkar itu satu level di atas hadis maudhu’ (palsu). Maka hadis munkar ini tidak bisa ditolerir dijadikan dalil, baik dalam masalah muamalah apalagi ibadah. Hadis ini seakan-akan ampunan Allah itu terbatas, padahal ampunan-Nya sama sekali tidak terbatas waktu,” terang Ruslan.
Keempat, hadis tentang Ramadan yang tergantung di antara langit dan bumi. Bunyi hadis tersebut: “Bulan Ramadan bergantung di antara langit dan bumi. Tidak ada yang dapat mengangkatnya kecuali zakat fitri.”
“Jika seseorang meyakini bahwa puasa Ramadan tidak diterima jika belum membayar zakat fitri, keyakinan ini salah, karena hadisnya dhaif. Zakat fitri bukanlah syarat sah puasa Ramadan, namun jika seseorang meninggalkannya ia mendapat dosa tersendiri,” terang Ruslan.
Hits: 1063