MUHAMMADIYAH.OR.ID, JAKARTA — Namanya Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Orang-orang mengenalnya sebagai Buya Hamka. Rocky Gerung menilai tokoh Muhammadiyah dari Sumatera Barat ini adalah seorang modernis tulen. Pasalnya, semua ceramah maupun tulisan-tulisan Buya Hamka selalu berupaya mencari titik keseimbangan antara idealisme agama dengan realitas dunia.
“Saya tetap menganggap bahwa pikiran Hamka adalah pikiran seorang modernis, yang berupaya mencari keseimbangan antara dunia yang berubah dan akidah yang final. Itulah khas seorang pemikir yang memiliki standpoint dan standpoint itu dibasiskan pada teologi Islam tapi di sisi lain ia juga berhadapan dengan perkembangan budaya dan peradaban,” tutur Rocky dalam diskusi yang diselenggarakan UHAMKA pada Selasa (31/08).
Sebagai modernis, Buya Hamka juga serius mempelajari tasawuf. Karena ia beranggapan bahwa ajaran Islam dapat beradaptasi dengan perkembangan modern, sekaligus menjadi pengobat luka-luka modernitas. Tidak heran bila Rocky menilai bahwa pengarang buku Tasawuf Modern ini memiliki semacam code of conduct, yaitu moral harus mendahului seluruh pertimbangan politis.
“Jadi selain seorang modernis yang berupaya menghubungkan problem-problem masa kini dengan cara berpikir Islami, dia juga seorang moralis yang teguh pada jalan integritasnya. Karenanya Hamka mengundurkan diri sebagai jabatan kenegaraan di MUI tahun 80an, karena berselisih dengan kekuasaan,” terang Pria kelahiran Manado, 20 Januari 1959 ini.
Sebagai seorang filsuf dan pemikir, Rocky mengungkapkan bahwa Buya Hamka memiliki keyakinan dasar (basic belief)yang menjadi asas bagi setiap gagasannya, yaitu tauhid. Nilai tauhid inilah yang membentuk prisma pandangan hidup dan menurunkan gagasan-gagasan Buya Hamka mulai dari etika, moral, pendidikan, maupun politik. Sementara itu, filsafat digunakannya hanya untuk menjelaskan suatu problem yang belum final.
“Bagi Hamka, tauhid first, tauhid yang utama. Bila ada problem, kita pakai filsafat. Jadi sisa dari hal yang rahasia, yang tidak bisa diterangkan, karena perkembangan peradaban, itu kita yang ulas melalui fasilitas filsafat. Jadi bagi Hamka filsafat itu peralatan berpikir, dia menggunakan filsafat untuk menganalisa hal-hal yang tidak bisa dipahami secara absolut karena perkembangan peradaban,” jelas Rocky.
Rocky juga terkagum-kagum dengan Ulama asal Minangkabau ini. Pasalnya, Buya Hamka bukanlah seorang ulama menara gading yang menuntun umatnya dari ketinggian, melainkan sosok yang berbaur dekat dengan masyarakat luas. Sebagai pemuka agama, ia tidak alergi dengan buku-buku filsafat. Sebagai seorang sastrawan, ia menjadikan agama sebagai sumber inspirasi utama dalam melahirkan karya.