MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA – Rektor Kolej Universiti Islam Perlis (KUIPs) Prof. Dr. Muhammad Rozaimi Ramle menyampaikan tentang sunnah sebagai sumber fiqih dalam seminar internasional di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Kamis (2/3). Menurutnya, dalam melihat keluasan madzhab perlu kembali kepada sunnah yang merupakan salah satu sumber keluasan fiqih itu sendiri.
Rektor KUIPs ini menjelaskan bahwa definisi sunnah ialah apa saja yang terbit dari Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam baik dalam bentuk perkataan, perbuatan, ataupun penetapan.
“Sesuatu yang berlaku di zaman Nabi ada yang di hadapan atau di belakang Nabi, akan tetapi tidak dibantah oleh beliau maka itu akan menjadi taqrir atau satu perakuan dan perizinan yang termasuk di dalam sunnah Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam,” jelasnya.
Dalam pemaparannya, ia menjelaskan bahwa pengertian sunnah sedikit berbeda dengan hadis. Hadis didefinisikan sebagai sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam, adapun sesuatu yang disandarkan bisa shahih, dhaif, dan juga palsu. Sementara sunnah merupakan sesuatu yang sudah pasti berasal dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.
“Ada sedikit perbedaan karena sesuatu yang disandarkan. Boleh jadi yang disandarkan itu sandarannya shahih, boleh jadi sandarannya itu sandaran dhaif, boleh jadi sandaranya itu sandaran palsu. Oleh sebab itu ada hadist shahih, ada hadist dhaif, dan ada hadist palsu,” terang Ramle.
Lebih lanjut, sunnah dikatakan sebagai sumber faktanya sudah dipelihara sejak zaman sahabat Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam. Hadist tidak hanya untuk diketahui namun dijadikan sebagai khazanah dan suatu maklumat yang perlu diamalkan dan dilaksanakan dalam kehidupan.
Ia menambahkan, bahwa para sahabat Nabi memelihara hadist dengan cara menulis. Sebagian sahabat menulis, sebagian menghafal, dan juga sebagian menyampaikan kepada sahabat lain.
“Sebagaimana kita melihat sahabat Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam memelihara hadist dengan menulis. Karena Rasulullah bersabda, hendaklah yang mendengar dan yang menyaksikan sebuah hadist menyampaikan kepada mereka yang tidak dengar,” ungkapnya.
Ramle menerangkan bahwa hadist tidak dapat dipisahkan dengan fiqih. Jika islam berkaitan dengan iman dan iman merangkum ucapan serta amal, maka amal itu bertepatan atau bergantung dengan ilmu fiqih.
Pada kesempatan yang sama, Ketua LPPI sekaligus Dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Khaeruddin Hamsin mengulas tentang upaya pembaharuan fiqih Muhammadiyah. Dalam perjalanannya Muhammadiyah memiliki beberapa perspektif dan manhaj yang berkembang dan perlu mendapatkan kajian lebih, baik itu di majelis tarjih maupun di perguruan tinggi Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah.
“Yaitu bagaimana Al Qur’an itu berinteraksi dengan realita yang terjadi dimasyarakat. Tidak mungkin hanya dengan satu madzhab hingga kemudian Al Qur’an dan Hadist itu berinteraksi dengan realita yang ada,” tuturnya.
Hamsin menuturkan bahwa persoalan hukum selalu berkembang seiring berjalannya waktu. Maka dari itu, sudah menjadi tanggung jawab bersama untuk menentukan hukum.
“Oleh karena itu, tuntutan kita di Perlis dan di Muhammadiyah saya kira punya kesepakatan bahwa itu merupakan tanggung jawab kita untuk menemukan hukum, karena di Al Qur’an tidak menjelaskan secara rinci namun Al Qur’an menjelaskan secara mutlak,” imbuhnya. (Dita, A’an)
Hits: 239