MUHAMMADIYAH.OR.ID, ARIZONA—Ilmu Kalam sebagai bentuk pengungkapan dan penalaran akidah Islam, telah tumbuh subur sejak Rasulullah Saw wafat. Kehadiran ilmu ini merupakan konsekuensi logis dari perkembangan Islam yang semakin meluas sehingga menyentuh ragam tradisi intelektual yang telah ramai dengan diskusi-diskusi teologis seperti di Bizantium, Mesir, dan Persia. Meski tumbuh secara organik, nyatanya ilmu kalam mendapat respon negatif dari berbagai aliran dalam Islam seperti kalangan filosof, sufi, Syiah Ismailiyyah, dan Ahlu Hadis atau Hanabilah.
“Ibnu Rusyd sebagai bagian dari kalangan filsuf menolak ilmu kalam. Ia mendebat Al Ghazali karena AL Ghazali menggunakan metode dialektis yang sarat kalam. Bagi para sufi juga menolak kalam dengan alasan keyakinan datang bukan dengan debat (kalam) tetapi melalui cahaya ilahi,” terang Rofiq dalam kajian tentang Pemikiran Al Ghazali pada Sabtu (17/09).
Rofiq kemudian mengungkapkan beberapa alasan kaum Hanabilah menolak ilmu kalam. Mujaddid besar dalam sejarah Islam dari kalangan Hanabilah, Ibnu Taimiyah secara terbuka menolak ilmu kalam. Ia barangkali seorang puritan yang paling lantang mengkritik kaum mutakallim. Bagi ulama yang lahir pada tahun 1263 ini, ilmu kalam menggunakan istilah dan metode yang bersumber dari tradisi pemikiran Yunani atau hellenistik dalam menjelaskan akidah Islam. Misalnya istilah jism (body), jauhar (atom), arad (aksiden).
Dalam ilmu kalam, istilah seperti jauhar dan arad digunakan untuk menjelaskan realitas alam semesta. Dengan kata lain, segala yang ada di alam semesta ini merupakan relasi jauhar dan arad. Jauhar merupakan substansi, sedangkan arad adalah sesuatu yang melekat pada jauhar berupa warna, ukuran, tempat, kualitas, posisi, dan lain-lain. Misalnya, kopiah yang berbentuk bulat dan berwarna merah. Kopiah merupakan jauhar, dan bentuk bulat dan warna merah merupakan arad.
Lantas, apakah Tuhan tersusun dari jauhar dan arad? Bagi para mutakallim, selain Tuhan segala sesuatu diciptakan melalui media jauhar dan arad, sehingga jism Tuhan berbeda dengan makhluk apapun. Secara berkelanjutan kedua unsur realitas materi alam semesta ini mengalami penambahan dan pengurangan. Menurut sebagian besar teolog Asyariyah seperti Al Ghazali dan Al Baqillani, Tuhan berperan aktif secara berkala dalam penciptaan dan pemusnahan jauhar dan arad. Sehingga Tuhan tahu segala kejadian yang bersifat juz’iyyat.
Bagi Ibnu Taimiyah, akidah Islam itu bisa dijelaskan dengan lebih mudah dan tidak serumit dengan apa yang dijelaskan kalangan mutakallim. Istilah jism, jauhar, dan arad dan konsep-konsep abstrak lainnya dalam ilmu kalam tidak memiliki jejak yang jelas dalam Al Quran, serta tidak digunakan Nabi Saw dan para sahabat dalam menjelaskan akidah Islam. Dengan adanya istilah-istilah rumit ini, ilmu kalam justru sangat potensial dapat membingungkan orang awam dan menjauhkannya dari Al Quran.
“Bagi Ibnu Taimiyah, penjelasan akidah dengan metode kalam malah dari yang tadinya sederhana jadi lebih rumit. Kalangan teolog membawa dan mengajarkan sesuatu yang abstrak, semakin jauh masuk ke konsep abstrak semakin jauh dari Al Quran,” tutur Rofiq dalam acara yang diselenggarakan kerjasama antara Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) Amerika Serikat dengan Center for Integrative Science and Islamic Civilization (CISIC) Universitas Muhammadiyah (UMY) ini.
Ibnu Taimiyah juga menuding ilmu kalam sebagai katalisator terjadinya banyak perbedaan dalam masalah akidah. Ilmu kalam yang berawal dari konflik politik kemudian berubah wujud menjadi debat teologis ini, berevolusi kembali menjadi sebuah ikatan persaudaraan yang teroganisir, bahkan memiliki sistem dan silabus sendiri-sendiri yang ditopang penguasa politik. Akhirnya, mereka terjebak pada debat yang melelahkan tentang pelaku dosa besar, pemimpin pasca Rasulullah, 72 golongan yang selamat, dan lain-lain.
Selain itu, ilmu kalam juga begitu rentan terjebak pada konsekwensi mengafirmasi keyakinan dari luar yang ingin ditolak oleh kaum ahli kalam sendiri. Karenanya, bagi Ibnu Taimiyah, ayat al-Quran dan Hadis bersifat cukup, tidak memerlukan kalam. Keterangan-keterangan dalam Al Quran sudah inherently rasional dan sejalan dengan fitrah manusia. Ilmu kalam hanya berbasis spekulasi rasional, memisahkan amal dan iman. Lagi pula, Nabi memerintahkan umatnya untuk beramal dan beribadah, bukan berfikir rasional.
“Makanya yang pertama kali diperintahkan Al Quran itu bukan nadzar, bukan berpikir rasional, tetapi amal. Lihat alam semesta dan lakukan hal-hal yang baik. Kalam hanya menggunakan akal tanpa melibatkan amalan-amalan praktis,” tutur alumni Arizona State University ini.
Hits: 694