MUHAMMADIYAH.OR.ID, ARIZONA—Secara bahasa, kalam berarti pembicaraan yang melibatkan nalar dan logika. Menurut Muhamad Rofiq Muzakkir, Ilmu Kalam adalah ilmu untuk mempertahankan keyakinan tentang Tuhan (keberadaan dan sifat-Nya) dengan menggunakan metode berargumen atau berdebat dengan lawan.
Hal ini sejalan dengan definisi yang disampaikan Ibnu Khaldun bahwa Ilmu Kalam adalah ilmu yang melibatkan argumentasi dengan bukti-bukti rasional dalam rangka membela akidah serta bantahan terhadap ahli bidah yang menyimpang dari akidah salaf saleh dan ahlu sunnah.
Lantas, apakah ilmu kalam ini muncul dari tradisi Islam? Para ahli berbeda pendapat mengenai asal usul ilmu kalam dalam Islam. Satu pendapat mengatakan kemunculan ilmu kalam secara eksklusif berasal dari kreasi Peradaban Islam yang dimulai dari perdebatan seputar sifat dan zat Tuhan dalam kitab suci. Pendapat lainnya mengatakan bahwa ilmu kalam lahir dari wacana ihwal ketuhanan yang berkembang di kalangan teolog Kristen.
Rofiq kemudian menunjukkan tiga teori tentang asal usul ilmu kalam: Pertama, pengaruh Kristen. Teori ini didukung oleh sejumlah peneliti seperti Michael Cook dan Alexander Treiger yang menyatakan bahwa teknik wacana kalam yang berkembang dalam tradisi Islam adalah pinjaman dari teologi Kristen. Asumsi ini dibangun dari jejak historis perdebatan di antara sesama aliran Kristen seputar status ketuhanan Yesus. Tiga aliran Kristen yang terlibat adu argumen tersebut ialah Nestorian, Monophysite, dan Dyophysite.
“Bagi kalangan Nestorian, Yesus adalah manusia seutuhnya yang fisiknya ditempati oleh Tuhan. Menurut kalangan Monophysite, Yesus adalah Tuhan seutuhnya, tanpa ada unsur manusia lagi di dalamnya. Sementara itu, kalangan Dyophysite mengatakan bahwa Yesus adalah Tuhan dan manusia sekaligus,” terang Rofiq dalam kajian tentang Al Ghazali yang diselenggarakan oleh kerjasama antara Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) Amerika Serikat dengan Center for Integrative Science and Islamic Civilization (CISIC) Universitas Muhammadiyah (UMY) pada Sabtu (17/09).
Setelah Islam menyentuh wilayah Persia dan Mesir, perdebatan teologis di antara aliran Kristen ini kemudian memicu lahirnya ilmu kalam dalam Islam. Meski demikian, ilmu kalam tidak berusaha mengikuti aliran Kristen mana pun, sehingga para mutakallim dapat mengemukakan berbagai tesis yang orisinal. Mereka memang menggunakan gaya argumen orang-orang Kristen bahkan logika Aristoteles dan alirannya, tetapi untuk tujuan yang berbeda.
Teori kedua masuknya ilmu kalam dalam Islam adalah hasil interaksi muslim dengan berbagai kebudayaan. Bukan hanya Kristen, tapi juga ragam aliran yang berkembang di wilayah Timur Tengah. Hal ini didukung oleh Sarah Stroumsa yang mengatakan bahwa ilmu kalam lahir dari interaksi dan pertukaran antara teolog Muslim dengan Yahudi, Kristen, Manichean dan Zoroaster.
Teori ketiga, ilmu kalam berasal dari dinamika internal umat Islam. Rofiq tidak memungkiri bahwa kalam lahir dari perjumpaan muslim generasi awal dengan agama dan kebudayaan yang berbeda. Namun, kontribusi dinamika internal umat Islam dalam kelahiran diskursus kalam juga tidak kalah besar. Dinamika internal ini muncul berawal dari konflik politis yang kemudian menjadi ajang debat teologis. Wacana yang dibahas ialah soal kedudukan orang yang berdosa besar, pemimpin yang legal pasca Rasulullah wafat, takdir Allah, dan lain-lain. Perdebatan-perdebatan tersebut akhirnya berkembang menjadi kompleks dan mendalam.
“Jadi, ilmu kalam ini lahir karena faktor eksternal seperti perdebatan teologis di antara teolog Kristen dan sejumlah kebudayaan lainnya seperti Zoroaster atau Manichean. Ada juga faktor internal yang dimulai dari konflik-konflik politik generasi muslim awal,” ucap Rofiq.
Urgensi Ilmu Kalam dalam Tradisi Islam
Dalam sejarahnya, ilmu kalam secara praksis digunakan mempertahankan dalil-dalil agama Islam dari serangan-serangan penganut agama lain, khususnya Kristen. Rofiq mengungkapkan Theodore Bar Koni dari aliran Nestorian berdebat dengan tokoh proto-Muktazilah di depan khalifah al-Mahdi. Theodore Abu Qurra dari aliran Melkite berdebat dengan tokoh Muktazilah, Abu Musa al-Murdar, di depan khalifah al-Ma’mun. Perdebatan dua agama ini sama-sama melibatkan logika Yunani sebagai senjata dalam perang argumen.
“Dari debat-debat itu, kemudian lahir ungkapan: Kalau bukan karena pembelaan kaum mutakallim, maka orang awam akan binasa (menjadi ragu/murtad), kalau bukan karena pembelaan kaum Muktazilah, kaum mutakallim sendiri pun akan binasa’,” kutip Rofiq.
Menurut Rofiq, debat teologis dengan agama lain tidak mungkin hanya bermodalkan dalil Al Quran dan Al Sunah. Ilmu kalam digunakan sebagai senjata untuk mempetahankan dalil dari serangan-serangan agama lain, khususnya Kristen. Kendati banyak ulama yang mempersoalkan ilmu kalam karena dianggap telah mencampuradukkan ajaran Islam dengan logika Yunani, namun mutakallim berkontribusi besar dalam menjaga marwah agama Islam di hadapan agama lain.
“Kalau umat Islam tidak menggunakan bahasa yang sama, tidak menggunakan ilmu kalam, lalu bagaimana cara menjelaskan Islam di hadapan golongan lain. Ketika ada yang menyanggah ajaran Islam dari golongan lain, tidak cukup menggunakan Al Quran dan Hadis, tapi juga harus menggunakan bahasa yang sama,” tegas Rofiq.
Namun, dalam perkembangan selanjutnya, ilmu kalam juga menjadi senjata dari pertarungan antar teolog muslim seperti Asyariyah, Muktazilah, dan Syiah. Bahkan buah dari tegangnya perdebatan sesama umat Islam ini erat sekali kaitannya dengan perpolitikan penguasa. Para teolog ini digunakan oleh penguasa pada masanya sebagai alat legitimasi politik-keagamaan dalam rangka stabilisasi kekuasaan, serta pembelaan intelektual terhadap lawan-lawan politik.
Hits: 686