MUHAMMADIYAH.ID, JAKARTA – Mewadahi aspirasi masyarakat Papua terhadap masa depan mereka terkait berbagai kebijakan Pemerintah, Majelis Diktilitbang Pimpinan Pusat Muhammadiyah kembali menggelar forum webinar Masa Depan Papua: Perspektif Orang Papua Seri II, Sabtu (30/10).
Jika pada Seri Pertama satu bulan yang lalu membahas tentang Otonomi Khusus dari sudut pandang Papua, seri kedua ini membahas terkait masa depan Papua 20 tahun ke depan sesuai dengan rencana kerja yang telah dirancang oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) RI.
Melukis Wajah Papua 2042
Staf Ahli Menteri PPN Bidang Pembangunan Sektor Unggulan dan Infrastruktur, Velix Vernandao Wanggai menyebut Bappenas selama 4 bulan ke depan dari November 2021 hingga Februari 2022 sedang merancang Peta Jalan Percepatan Pembangunan Papua untuk 20 tahun ke depan.
Tantangan terbesar bagi pembangunan Papua selain pro-kontra kebijakan Otonomi Khusus (Otsus) menurutnya adalah berbagai faktor eksternal seperti kemandirian fiskal, potensi SDA, tren teknologi global, eksistensi hutan Papua, dampak ekonomi berkelanjutan dan perubahan geopolitik serta perbatasan negara.
“Hal yang menjadi penting yaitu bagaimana kita bersama melukis wajah tanah papua 20 tahun ke depan. Kita letakkan lukisan itu dalam rencana induk percepatan pembangunan Papua dan Papua Barat,” paparnya.
Kunci Papua Maju, Jauhkan Generasi Muda dari Narasi Kekerasan dan Pornografi
Menyambung Velix Vernandao Wanggai, antropolog Universitas Muhammadiyah (UM) Papua Dian Yasmin Wasaraka berpendapat tantangan bagi pembangunan Papua adalah minimnya literasi digital di kalangan masyarakat Papua.
Wanita asli Papua itu menilai bahwa persebaran konten digital yang memuat kekerasan dan pornografi seperti dilema tersendiri. Kaum muda, menurutnya ikut terdampak atas perilaku kelompok tua yang sering membagikan konten kekerasan tanpa ada verifikasi di media sosial.
Selain di media sosial, persebaran konten kekerasan seperti peperangan dan pornografi menurutnya juga masih tersebar lewat alat konvensional seperti kaset VCD. Konten ini menurutnya juga sering diputar dalam momen pesta adat.
Dian menyebut lingkungan digital yang sehat serta literasi digital yang aman bagi anak-anak dan kaum muda berpengaruh besar dalam mewujudkan pembangunan Papua di masa depan. Apalagi, demografi jumlah milenial antara Gen Y dan Gen Z menurutnya ada sebanyak 2,67 juta atau mayoritas dari penduduk Papua yang berjumlah di kisaran angka 4 juta orang.
Berikan Ruang dan Akses Kompetisi Bagi SDM Papua
Lebih lanjut, untuk memajukan Papua Dian meminta agar akses dan ruang kompetisi bagi para Pemuda Papua diperbanyak.
Menurutnya, ketersediaan ruang kompetisi terbukti berhasil menunjukkan bahwa banyak SDM Papua yang memiliki potensi, unggul dan mampu bersaing baik di ranah akademik maupun olahraga.
“Di situlah harga diri orang Papua yang sebenarnya dibangkitkan. Ketika kami hanya dikasih kasihan terus menerus, kami hanya akan menjadi jago kandang, tapi kalau kami dibiarkan adaptasi dan diberikan kesempatan untuk berkompetisi maka kemampuan terbaik kami pasti akan kita tunjukkan,” tegas Dian.
“Apakah kemudian 20 tahun yang akan datang kita akan mengulang pembicaraan yang sama, perdebatan yang sama, tentang katanya Papua itu terbelakang, bahwa Papua itu tidak maju, SDM Papua itu lemah, perlu diperhatikan dan kita akan mengulang lagi tentang kekerasan-kekerasan struktural dan gender di Papua, kita akan berputar-putar seperti balapan tikus sementara negara lain sudah memikirkan penambangan di bulan,” pungkasnya berharap perhatian pemerintah terhadap pengelolaan generasi muda di Papua benar-benar berjalan serius.
Usulan Antropolog, Bangun Papua dari Pasar dan Pesisir
Sementara itu Guru Besar Antropologi Universitas Gajah Mada, Sjafri Sairin memandang ada dua hal yang dapat diperhatikan pemerintah untuk mengatasi pembangunan Papua yang seringkali terhambat pada faktor pembauran masyarakat yang muncul akibat kuatnya kesukuan di antara mereka.
Untuk membangun SDM Papua, Sjafri mengusulkan menggarap Papua dari wilayah pesisir lalu perlahan masuk ke dalam daratan. Sjafri mengistilahkan upaya ini seperti “makan bubur dari pinggir.” Demikian disampaikan pada forum Webinar pertama, Sabtu (18/9).
Ide kedua disampaikan Sjafri pada forum webinar kedua, Sabtu (30/10). Sjafri menekankan pemerintah banyak membangun pusat-pusat keramaian yang membuat interaksi banyak manusia terjadi, misalnya seperti pasar.
“Saya sarankan kita buat proyek pasar supaya orang terdidik berkenalan dengan yang lain. Di situlah orang bertukar ilmu apa yang dijual dan dibeli guna mengenal partner-partner yang lain. Jadi produksi pasar itu berputar, sekali seminggu misalnya, kalau tidak bisa ya sekali sebulan. Yang penting saling bertemu, saling belajar. Di sinilah pemerintah perlu membangun inisatif itu,” tegasnya.
Peran Muhammadiyah Terbuka Lebar
Untuk membangun usaha-usaha memajukan masyarakat Papua, peran Muhammadiyah terutama lewat pendidikan dinilai terbuka lebar.
“Mendidik itu dengan proses sosial. Jadi itu cara yang barangkali bisa dibuat bersama universitas di Papua. Cobalah itu. Kalau bisa membangun pasar yang mempertemukan orang, mungkin suatu ketika bisa berbeda kita memandang orang lain,” imbuh Sjafri Sairin.
Peran Muhammadiyah menurutnya juga bisa dilakukan dalam membantu para kepala desa yang banyak tidak menempuh pendidikan agar mendapatkan ijazah lewat ujian Paket A dan Paket B agar mereka mendapat trust sebagai pemimpin di masyarakatnya.
“Kita juga dapat melihat bagaimana pertumbuhan kompetensi masyarakat Papua yang dapat diambil alih oleh peran perguruan tinggi,” tutur Velix Vernandao sepakat.
Sementara itu warga Papua asal Kaimana yang hadir dalam forum diskusi ini juga menaruh harapan terhadap lembaga pendidikan Muhammadiyah untuk terus aktif membangun Papua.
Dengan cara itu, dia berharap Otsus juga beralih dari gerak yang asimetrik menjadi simetrik sehingga orang Papua tidak mengalami perlakuan khusus dibandingkan masyarakat Indonesia di wilayah lain.
“Kita harus akui bahwa yang melakukan kekerasan di Papua bukan orang yang berpendidikan. Sehingga satu-satunya jalan adalah mencerdaskan orang Papua. Itu tidak ada lain kecuali menjadi misi profetik UM Papua yaitu mencerdaskan orang Papua,” tuturnya.
“Bisa tidak kita nanti 20 tahun lagi lepas dari otonomi asimetrik menjadi otonomi simetris. Saya yakin dan punya optimisme bahwa kita orang Papua ini bisa. Jangan sampai Otsus ini membuat kita terbelenggu dan kita ini tidak bisa melakukan sesuatu yang sifatnya kompetitif dengan saudara-saudara kita di wilayah yang lain,” tutupnya.
Naskah: Afandi
Editor: Fauzan AS