Dalam QS. Ali Imran, ayat 97, menjelaskan tentang kewajiban haji bagi mereka yang memiliki kemampuan atau istithaa’ah. Menurut para mufassir dan fuqaha, istithaa’ah dapat diuraikan dalam tiga aspek utama:
Pertama, Kemampuan Fisik: istithaa’ah badaniyyah, yang melibatkan kekuatan fisik dan kesehatan. Ini menandakan bahwa orang yang sudah tua dan lemah, atau yang menderita sakit berat, tidak diwajibkan untuk menjalankan ibadah haji.
Kedua, Kemampuan Keuangan: istithaa’ah maliyyah, yang mencakup kemampuan finansial untuk biaya perjalanan haji serta biaya hidup bagi keluarga yang ditinggalkan.
Ketiga, Kemampuan Keamanan: istithaa’ah maniyyah, yang berkaitan dengan keamanan dalam perjalanan. Bagi wanita, ini termasuk memiliki mahram yang memastikan keamanan selama perjalanan.
Para ulama juga menyampaikan tambahan atau penafsiran yang berbeda, tetapi umumnya ada dua syarat tambahan yang ditekankan: persiapan bekal dan sarana transportasi. Riwayat dari banyak sahabat Nabi, seperti Jabir, Ibnu Umar, Ibnu Amr, Anas, dan Aisyah, serta hadis dari Ibnu Umar yang dianggap sebagai hadis hasan, menegaskan pentingnya bekal dan kendaraan sebagai bagian dari persyaratan haji yang wajib.
Selain istithaa’ah, persyaratan tambahan untuk menjalankan ibadah haji adalah persiapan bekal dan sarana transportasi. Meskipun pembahasan mengenai sumber bekal dan sarana perjalanan belum begitu banyak, prinsipnya adalah bahwa semua persiapan ibadah haruslah sesuai dengan ketentuan Allah dan menjauhi yang diharamkan-Nya.
Allah melarang penggunaan barang haram dan memerintahkan penggunaan barang halal dalam ibadah. Dalam konteks bekal haji, Nabi Muhammad Saw menjelaskan bahwa orang yang menunaikan haji dengan bekal yang halal akan mendapat doa yang baik, sehingga hajinya diharapkan menjadi haji yang diterima oleh Allah. Sebaliknya, orang yang berangkat dengan bekal yang haram telah mendapatkan seruan dari langit bahwa hajinya tidak akan diterima.
Pertanyaan mengenai kehalalan bekal tergantung pada cara memperolehnya. Pemberian dengan ikhlas dari orang lain termasuk dalam kategori bekal yang halal, sementara pemberian yang tidak wajar tidak dapat dianggap sebagai bekal yang halal. Menggunakan bekal dari orang tua dengan syarat-syarat tertentu adalah hal yang diperbolehkan dan dapat membuat haji seseorang menjadi sah, asalkan rukun dan syarat-syarat lainnya terpenuhi.
Referensi:
Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, “Hukum Berangkat Haji Bukan Dengan Biaya Sendiri”, dalam Fatwa Tarjih, fatwatarjih.or.id/hukum-berangkat-haji-bukan-dengan-biaya-sendiri/, diakses pada Jumat, 10 Mei 2024.