Muhammadiyah adalah gerakan Islam dakwah amar makruf nahi munkar dan tajdid. Lebih dari satu abad lamanya telah memainkan peran sosial-keagamaannya baik di kancah nasional maupun internasional. Dengan sejarah panjangnya, Muhammadiyah senantiasa menjadi pelaku aktif dalam menanggapi berbagai isu yang timbul di masyarakat. Muhammadiyah selalu meresponnya dengan berusaha menghadirkan solusi terbaik.
Salah satu instrumen dalam merespon isu zaman ialah Musyawarah Nasional (Munas) Tarjih. Munas Tarjih, sebagai forum tertinggi di Muhammadiyah, menjadi panggung utama bagi para ulama, pakar, ilmuwan, cendekiawan, dan intelektual Muhammadiyah untuk membahas dan merumuskan solusi terhadap berbagai masalah keagamaan yang muncul. Karenanya, Munas Tarjih adalah Munas Persyarikatan Muhammadiyah, bukan hanya Majelis Tarjih.
Sejak berdirinya Majelis Tarjih pada tahun 1927, istilah Musyawarah Nasional Tarjih telah mengalami beberapa perubahan nama, mulai dari Muktamar Khususi, Muktamar Khususi Tarjih, Muktamar Tarjih, hingga yang terakhir adalah Musyawarah Nasional. Dengan perubahan tersebut, Munas Tarjih terus berkembang sebagai wadah diskusi dan pengambilan keputusan yang mendasar bagi Muhammadiyah dalam menghadapi berbagai tantangan keagamaan di berbagai periode waktu.
Dalam sejarahnya, Munas pertama kali dikenal sebagai “Sidang Muktamar Khususi” tahun 1929 pada era kepemimpinan KH. Mas Mansur. Dalam era ini, fokus utama Munas adalah pada pembahasan kitab-kitab keagamaan seperti Kitab Iman dan Kitab Salat. Pemilihan istilah “Khususi” menunjukkan spesifiknya pembahasan terhadap isu-isu keagamaan yang mendalam.
Pergantian nama menjadi “Muktamar Tarjih” pada tahun 1950 mencerminkan penegasan peran Munas sebagai panggung bagi para ahli dan ulama dalam menyusun tarjih (pendapat hukum). Selama periode ini, Munas terus membahas masalah keagamaan yang lebih luas, mencakup isu-isu seperti Kitab Zakat, Kitab Haji, dan berbagai permasalahan keagamaan lainnya.
Pada tahun 1995 hingga kini, Munas Tarjih mengalami perubahan istilah menjadi “Musyawarah Nasional,” mencerminkan semangat pembaharuan dan keselarasan dengan visi kelembagaan Muhammadiyah. Perubahan ini memberikan nuansa yang lebih inklusif, mencakup berbagai isu keagamaan serta mengakomodasi berbagai perspektif dari para ulama, cendekiawan, dan praktisi keagamaan.
Hingga saat ini, Musyawarah Nasional Tarjih terus membahas isu-isu keagamaan kontemporer. Pembahasan mencakup Fikih Tata Kelola, Seni Budaya Islam, Fikih Zakat Kontemporer, hingga isu-isu baru seperti fikih difabel, fikih informasi, dan Fikih Perlindungan Anak. Semua ini menunjukkan komitmen untuk terus berkembang dan merespons dinamika masyarakat dan tantangan keagamaan kontemporer.
Dengan setiap langkah dan transisi, Munas Tarjih yang telah digelar sebanyak 31 kali ini tidak hanya melibatkan diri dalam pembahasan teologis dan hukum, tetapi juga menjadi jendela bagi perkembangan dan evolusi pemikiran Islam di Indonesia. Dengan fokus pada isu-isu yang relevan dan konstruktif, Munas Tarjih terus menjaga peran sentralnya dalam membentuk wajah Islam yang dinamis, responsif, dan progresif dalam perubahan masyarakat yang terus berkembang.
Munas Tarjih ke-32 di Pekalongan
Pada tahun 2024, kota Pekalongan akan menjadi saksi kehadiran Munas Tarjih ke-32. Pemilihan Pekalongan sebagai lokasi Munas tidak sekadar kebetulan, melainkan merujuk pada sejarah krusial berdirinya Majelis Tarjih dan Tajdid pada tahun 1927, yang menjadi buah dari Kongres Muhammadiyah ke-16.
Tema Munas Tarjih ke-32, ‘Meneguhkan Islam Berkemajuan dalam Membangun Peradaban Semesta’, mencerminkan semangat Muhammadiyah untuk tidak hanya menjadi pelaku keagamaan tetapi juga kontributor positif dalam pembangunan peradaban dunia. Munas Tarjih bukan sekadar forum pembahasan isu-isu keagamaan, tetapi juga panggung untuk memperkuat landasan Islam sebagai pilar utama dalam menghadapi kompleksitas tantangan global.
Tiga materi utama yang akan menjadi pusat perhatian dalam Munas Tarjih ke-32, yaitu Pengembangan Manhaj Tarjih Muhammadiyah, Fikih Wakaf Kontemporer, dan Kalender Hijriyah Global Tunggal, menjadi landasan untuk membahas aspek-aspek krusial dalam merumuskan pandangan dan arah Muhammadiyah ke depan.
Penyelenggara Munas ini adalah Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, yang berkolaborasi erat dengan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Tengah dan Universitas Muhammadiyah Pekajangan Pekalongan (UMPP). Adanya kerjasama ini mencerminkan sinergi antara lembaga-lembaga Muhammadiyah dalam mengembangkan pemikiran keagamaan yang progresif.
Sebagai forum tertinggi di Muhammadiyah, Munas Tarjih ke-32 memainkan peran sentral dalam merumuskan pandangan dan keputusan yang relevan dengan dinamika masyarakat dan tuntutan keagamaan kontemporer. Para peserta Munas, yang terdiri dari ulama, tokoh, pakar, pemikir, dan intelektual dari kalangan Muhammadiyah, akan terlibat dalam ijtihad jama’i, sebuah proses kritis dalam merespons perubahan zaman.
Pekalongan akan menjadi panggung bagi Muhammadiyah untuk meneguhkan eksistensinya sebagai kekuatan spiritual dan intelektual yang berkontribusi pada peradaban semesta. Munas Tarjih ke-32 di Pekalongan bukan hanya sekadar acara keagamaan, melainkan sebuah peristiwa yang menggambarkan semangat Muhammadiyah dalam meresapi nilai-nilai Islam yang berkemajuan dan inklusif, menjadikannya sebagai pemangku peran utama dalam membentuk masa depan keagamaan dan peradaban yang lebih baik.
Penulis: Ilham Ibrahim