Dalam ayat pertama surat Al-Isra’, Allah –subhanahu wa ta’ala– berfirman, “Maha Suci (Allah) yang telah memperjalankan hamba-Nya (Nabi Muhammad -shallallahu ‘alayhi wa sallam-) pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat”.
Kata isra’ merupakan kata asal (mashdar) dari kata kerja asraa-yusrii yang berakar dari kata saara-yasiiru yang berarti berjalan. Dari kata ini pula berasal kata siirah yang berarti biografi, karena memuat tentang riwayat perjalanan hidup seseorang, dan juga kata sayyaarah yang bermakna sekelompok orang yang sedang berjalan, seperti dalam surat Yusuf atau di era modern diartikan sebagai mobil, alat untuk berjalan.
Adapun kata mi’raaj, dari kata ‘araja-ya’ruju yang bermakna naik. Selain bermakna naik, ‘araja juga bermakna singgah, bentuk lainnya adalah kata a’raaj yang bermakna pincang. Kata lain serupa yang ditemukan dalam Al-Quran adalah ‘urjuun yang bermakna tandan, atau ma’arij yang bermakna tempat-tempat yang tinggi.
Jika memperhatikan dalam konteks kisah Isra’ Mi’raj, yaitu ketika Nabi Muhammad –shallallahu ‘alayhi wa sallam– sedang mengalami masa-masa berat ketika ‘Amul Huzni, atau tahun kesedihan dimana paman Sang Nabi, Abu Thalib dan istri Sang Nabi, Khadijah telah wafat. Kedua orang ini adalah sosok yang berperan dalam melindungi dan mendukung dakwah di masa-masa awal turunnya risalah pencerahan itu. Peristiwa ini terjadi sekira tahun kesepuluh setelah wahyu pertama turun.
Ditambah lagi sebelum kejadian itu terjadi pemboikotan secara sosial-ekonomi oleh kaum Quraisy di Makkah kepada para sahabat yang memilih jalan hidup sebagai umat Islam generasi pertama. Kejadian ini terjadi pada tahun ketujuh setelah kenabian, dan berlanjut selama tiga tahun hingga ‘Amul Huzni.
Sehingga kondisi masa-masa itu bukanlah kondisi yang tenang dan tentram serta serba berkecukupan. Sebaliknya, masa-masa itu adalah kondisi sulit yang mencekik. Kesedihan dan kesedihan, derita dan nestapa menggelayut di kalangan umat Islam masa itu.
Maka untuk menghibur Sang Rasul, Allah memperjalankannya untuk “piknik” dalam satu malam pada dua destinasi yang tidak biasa. Dari al-Masjid al-Haram tanah suci Makkah al-Mukarramah dimana Sang Rasul lahir, tumbuh dan tinggal ke al-Masjid al-Aqsha di Yerussalem, lalu naik menuju langit ketujuh atau Sidratul Muntaha. Pada masa dimana pesawat dan alat transportasi masih begitu sederhana dan memang dianggap diluar nalar oleh kebanyakan orang masa itu.
Maka isra’ adalah kondisi dan proses dimana Sang Rasul diperjalankan di bumi secara horizontal, dan mi’raj adalah ketika Sang Rasul diangkat menuju langit ketujuh secara vertikal.
Di langit ketujuh, Sang Rasul Yang Mulia diberikan “oleh-oleh” yang juga istimewa. Perintah Shalat menjadi satu-satunya perintah ibadah dimana Sang Rasul mendapatkannya langsung di langit ketujuh. Tidak seperti ibadah lain dimana Sang Rasul tetap berada di bumi, lalu turunlah firman Allah dari atas langit ketujuh.
Sehingga dari peristiwa ini, shalat-lah obat kesedihan, kesempitan, kesulitan, dan nestapa yang menggelayut dalam tahun-tahun duka. Sebagai wujud kasih sayang Allah, umat Islam hanya diwajibkan untuk menghadap-Nya sebanyak lima kali dalam satu hari. Selain lima waktu itu, umat Islam diberikan perintah untuk shalat di beberapa waktu lain yang ditentukan, tetapi tidak se-wajib lima waktu ini.
Maka dalam lima waktu ini umat Islam menghadapkan diri di hadapan Tuhan. Mengadukan semua cita dan cerita yang didapatkannya dalam kehidupan. Melepaskan ikatan penatnya kehidupan dalam lima waktu, sehingga mereka yang shalat menjalani hidup dengan ketenangan hati dan pikiran, yang kemudian akan melahirkan sikap yang rapi dan tertata. Karena hati dan pikiran yang tidak tenang menjadikan semua perkara hidup menjadi seolah tak berbentuk.
Dalam rangkaian shalat, tersimpan banyak makna dan memuat banyak sikap penghambaan yang tinggi dan meninggikan. Dimulai dengan takbiratul ihram, dimana mengecilkan semua perkara kehidupan yang dihadapi walau sejenak, dan ditutup dengan menebar nilai positif berupa salam kedamaian pada siapapun di sekitar.
Pada hakikatnya manusia lebih memilih ketenangan daripada keramaian. Itu manusiawi, dan menjadi sebab mengapa surga yang menjadi dambaan semua insan itu selalu digambarkan sebagai kebun dan sungai. Bukan digambarkan seperti kesenangan duniawi yang diinginkan semua orang.
Sehingga bagi sebagian ulama, ketika shalat mereka selalu berusaha menghidupkan hati dengan menghadirkan kenyamanan atau bahkan sedikit ketakutan ketika sedang shalat. Sebagian menghadirkan diri seolah di hadapan Ka’bah, sebagian menghadirkan diri seolah berada di hadapan liang lahat, sebagian lainnya membayangkan sedang berada di tengah kebun yang indah.
Peristiwa Isra’ Mi’raj menjadi momentum sejarah yang membentuk kepribadian diri seorang muslim yang taat. Dimana nilai disiplin, kerapian dan kebersihan lahir batin, ketenangan, kesabaran, berserah diri di hadapan Tuhan, menebar nilai positif berada dalam satu rangkaian ibadah yang terulang lima kali sehari. Sehingga shalat menjadi sebuah energi untuk membentuk insan yang berkemajuan, ketika shalat dipahami dan dijalankan dengan benar.
Maka seorang muslim juga perlu meng-isra’-kan dan me-mi’raj-kan dirinya, hidupnya, potensi diri dan orang lain di sekitarnya. Dengan memperjalankan diri (isra’) untuk memperjalankan diri untuk bergerak menambah wawasan hingga memperjalankan diri untuk peduli dengan mereka yang membutuhkan lalu barulah kemudian berupaya untuk meningkatkan (mi’raj) potensi diri agar lebih baik setiap harinya.
Sehingga isra’ dan mi’raj tidak sebatas menjadi peristiwa sejarah yang diulang-ulang setiap momen bulan Rajab. Melainkan menjadi semangat diri dan bernilai sosial agar menjadi sosok yang dinamis dan optimis berlandaskan prasangka baik kepada Tuhan. Seorang muslim tidak bersikap statis yang berhenti dalam kenyamanan dan tenggelam untuk tidak berusaha berubah menjadi lebih unggul setiap harinya. Rasa nyaman itu indah, tetapi tidak ada perkembangan di dalamnya.
Seorang muslim juga tidak perlu terburu-buru untuk ber-mi’raj atau “naik” baik dalam jabatan, pangkat, kekuasaan, popularitas dan semisalnya di hadapan sesama manusia. Karena seorang muslim perlu lebih dahulu untuk ber-isra’, berjalan memperhatikan realitas dan berusaha mengambil pelajaran yang bermakna, sekaligus beraksi untuk kebaikan bagi sesama manusia. Sehingga ketika sudah berada di tingkat lebih tinggi diantara manusia lain, selayaknya mampu memelihara sikap tawadhu’ dan sederhana menyikapi mi’raj-nya posisi dirinya.
Tentang kapan dirinya akan ber-mi’raj, naik, secara umum bukanlah hal yang perlu diperhatikan dengan terlalu ambisius, lantas mengabaikan batasan nilai, norma dan etika. Karena pada hakikatnya, hanya takwa setiap diri-lah yang menjadi poin mi’raj atau naiknya derajat dan tingkatan diri manusia yang membedakannya dari orang lain. Allah-lah yang berhak untuk menghendaki siapapun dari para hamba-Nya yang pantas untuk di-mi’raj-kan, begitu juga kapan dan bagaimana mi’raj-nya.
Seorang muslim selayaknya mampu meng-isra’-kan orang lain, dengan mengajaknya untuk bersama berbuat dalam kebaikan, atau me-mi’raj-kan derajat diri orang lain dengan cara-cara yang baik dan produktif. (Muhamad Faruqi)