MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA—Kebutuhan umat Islam akan Usul Fikih tidak perlu diragukan lagi. Usul Fikih memiliki peran sebagai ruang dialog antara idealisme hukum dan realitas sosial. Ketika persoalan sosial terus berkembang, sementara teks yang ada tidak mungkin bertambah, maka Usul Fikih seringkali menjadi alat untuk menghasilkan produk hukum. Pentingnya Usul Fikih ini memotivasi Syamsul Anwar untuk menyusun sebuah buku yang berjudul Usul Fikih: Kajian Tentang Sumber Hukum.
Buku yang terdiri dari 113 halaman ini membahas tentang sumber hukum Islam. Dalam paradigma Usul Fikih klasik, sumber hukum pokok dalam Islam secara hirarkis hanya ada empat, yaitu al-Qur’an, hadis, ijma` (konsensus), dan qiyas (analogi). Sementara dalam konsepsi Syamsul Anwar, sumber hukum hanya berporos pada Al Quran dan al Hadis. Adapun qiyas, mashalat mursalah, istihsan, syar`u man qablana (syari`at umat atau nabi-nabi terdahulu), `urf (tradisi, kebiasaan), merupakan deretan sumber pada level sekunder.
Konsep hukum di dalam Al-Quran sebagai sumber pertama hukum Islam didasarkan kepada ajaran ontologi Islam sendiri. Manusia diciptakan oleh Penciptanya sebagai makhluk sosial, yakni makhluk yang tidak dapat melaksanakan kerjanya dan memenuhi kebutuhannya secara sendiri. Ia membutuhkan bantuan yang lain dalam suatu kerjasama yang saling mendukung [Q. 5: 2]. Untuk itu diperlukan satu tatanan yang dapat menyatukan seluruh potensi umat manusia guna mewujudkan kemakmuran bumi yang berarti kemakmuran manusia itu sendiri.
Tatanan yang menyatukan potensi seluruh manusia ditujukan untuk: 1) mencerdaskan kehidupan umat manusia, sebagai salah satu pesan pokok dalam ayat 5 dari kumpulan ayat-ayat yang pertama diturunkan [Q 96: 1-5]; 2) menciptakan ruang hidup yang kondusif bagi pemenuhan kebutuhan spiritual rohaniah manusia [Q 22: 41]; 3) membangun kesejahteraan ekonomi yang berkeadilan [Q 22: 41]; 4) mewujudkan ketertiban dan keamanan hidup dalam masyarakat, sebagimana ketiga butir terakhir ini dapat disimpulkan dari Q 22: 41; dan 5) menjaga lingkungan fisik bumi sebagai bagian dari upaya pemakmurannya dan mencegah kerusakan dan perusakan terhadapnya [Q 11: 61; dan 28: 77].
“Inilah raison d’etre (alasan keberadaan) tatanan hukum dalam Al-Quran. Karena itu hukum dalam perspektif Al-Quran tidak hanya mengatur hubungan manusia yang satu dengan yang lain, tetapi juga mengatur hubungan manusia dengan Sang Pencipta dan juga dengan alam ciptaan-Nya,” tulis Book review Usul Fikih: Kajian Tentang Sumber Hukum Islam dalam Tarjih.or.id pada Jumat (20/01).