MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA—Dalam buku Fikih Kebencanaan, terdapat sepuluh pedoman perilaku bagi petugas kemanusiaan dalam merespon bencana. Sepuluh pedoman tersebut memiliki landasan yang kuat baik dari al-Quran maupun hadis Nabi. Sepuluh pedoman tersebut adalah:
Pertama, mengutamakan panggilan kemanusiaan. “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam” [Q.S. al-Anbiya (21): 107].
Kedua, prioritas bantuan ditentukan berdasarkan oleh kebutuhan bukan atas pertimbangan ras, kepercayaan ataupun kebangsaan. “Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan” [Q.S. al-Insan (76): 8].
Ketiga, bantuan tidak boleh digunakan untuk kepentingan politik maupun agama. “Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih” [Q.S. al-Insan (76): 9].
Keempat, tidak menjadi alat kebijakan luar negeri pemerintah. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian” [Q.S. al-Baqarah (2): 264].
Kelima, budaya dan adat istiadat setempat harus dihormat. “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf (kebaikan sesuai nilai setempat), serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh” [Q.S. al-A’raf (7): 199].
Keenam, upaya membangun kemampuan setempat untuk merespons bencana. “Dari Abdullah ibn Umar Ra.Ia berkata bahwa Rasulullah Saw. bersabda: Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lainnya. Janganlah menzhaliminya dan jangan membiarkannya (tidak membela dan menolongnya). Dan barangsiapa yang membantu kebutuhan saudaranya, maka Allah akan membantunya. Dan barangsiapa yang memberikan jalan keluar untuk kesulitan saudaranya, maka Allah akan memberikan jalan keluar bagi kesulitan-kesulitannya pada hari kiamat. Dan barangsiapa yang menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan tutupi aibnya pada hari kiamat” [HR. al-Bukhari dan Muslim].
Ketujuh, melibatkan penerima bantuan dalam proses manajemen bantuan. “… dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah” [Q.S. ‘Ali’ ‘Imran (3): 159].
Kedelapan, bantuan ditujukan untuk mengurangi kerentanan terhadap bencana di masa mendatang, juga untuk memenuhi kebutuhan pokok. “Dari Abi Hurairah Ra. dari Nabi Saw. telah berkata: “Barangsiapa yang melepaskan dari orang Mu’min satu kesusahan dari kesusahan-kesusahan dunia, pasti Allah akan melepaskan daripadanya satu kesusahan dari kesusahan hari kiamat. Dan barangsiapa yang menolong yang sedang menderita kesukaran (kerepotan), pasti Allah akan menolongnya di dunia dan akhirat. Dan barangsiapa yang menutupi malu (‘aib) orang Muslim, pasti Allah akan menutup ‘aibnya di dunia dan akhirat. Dan Allah tetap bersedia menolong hamba-Nya selama hamba itu suka menolong saudaranya” [H.R. Muslim].
Kesembilan, bertanggungjawab kepada penerima bantuan maupun pemberi sumbangan. “Dan Katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan” [Q.S. al-Taubah (9): 105].
Kesepuluh, semua materi informasi tetap memperhatikan para korban bencana sebagai manusia yang bermartabat, bukan sebagai objek yang tak berdaya. “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan [Q.S. al-Isrā’ (17): 70].