MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA—Fenomena dunia pendidikan terutama yang berbasis agama seperti pesantren dan madrasah saat ini mendapatkan respon yang mendua. Satu sisi masyarakat memandang institusi pendidikan keagamaan begitu penting sebagai kaderisasi pemimpin umat. Namun, pada saat yang sama mendapat kecaman sebagai institusi yang benyak masalah dan dianggap menghambat kemajuan.
“Tantangan dunia pendidikan madrasah dan pesantren saat ini begitu kompleks. Ini akibat dari adanya pergeseran transisi budaya, pergeseran nilai, dan perubahan konsep pendidikan. Para pengampu pendidikan mesti lebih adiptif,” ucap Aly Aulia dalam Pengajian PP Muhammadiyah pada Jumat (17/09).
Aly kemudian mengungkapkan tiga akar masalah kekerasan dalam institusi pendidikan. Pertama, dari sisi guru: terkadang para pengajar tidak terlalu cukup banyak pengetahuan dan wawasan terkait perlindungan, memandang dengan persepsi yang parsial dalam menilai siswa/santri, dan adanya masalah psikologis seperti akibat tekanan kerja, problem rumah tangga, dan lain sebagainya.
Kedua, dari sisi siswa: kekerasan terjadi karena adanya perasaan superior atau inferior yang memancing siswa/santri lain melakukan kekerasan, pelampiasan dari kejadian yang pernah diterima seperti pembalasan dendam (biasanya ke kelas yang di bawahnya), ingin mendapat perhatian dari orang-orang di sekitarnya. Menurut Aly, kekerasan dari sisi siswa inilah yang paling dominan sebab mereka intens melakukan komunikasi satu sama lain sehingga sangat potensial terjadi kekerasan.
“Yang banyak dan dominan itu justru siswa dan antar siswa. Karena mereka hidup bareng, di kelas bareng, di kamar bareng, di mana-mana bareng. Ini menunjukkan nanti mana siswa yang berkuasa, mana yang tidak,” terang Direktur Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta ini.
Ketiga, dari sisi lingkungan dan keluarga: kekerasan juga dapat diakibatkan lantaran adanya budaya kekerasan yang terjadi di lingkungan dan keluarganya, mengakses media cetak maupun digital yang isinya provokasi melakukan kekerasan, dan lata pendidikan keluarga yang memicu tindakan kekerasan.
Aly kemudian mengurai langkah preventif dalam menyudahi kekerasan di institusi pendidikan. Menurutnya, Wali Kelas dan Guru Bimbingan Konseling (BK) memiliki peran yang cukup sentral dalam masalah ini. Mereka harus melakukan assessmen kepada siswa untuk mengidentifikasi kebutuhan dan permasalahan siswa yang mengganggu kehidupan efektif di sekolah/madrasah. Selain itu, Guru BK penting sekali untuk terus memberikan wawasan keramahan dan perilaku anti kekerasan/bullying. Penting juga melakukan kolaborasi bersama dinas kesehatan, kepolisian, dan perguruan tinggi dalam upaya mencegah perilaku kekerasan.
Selain itu, langkah preventif lainnya ialah para pengajar dan pemangku kebijakan memiliki sinergi pemahaman atau persepsi terkait kekerasan pengasuhan dan menciptakan lingkungan layak bagi siswa/santri. Berikan pula reward dan punishment dalam rangka menegakkan disiplin positif dengan konsekuensi logis. Juga penting sekali membekali dengan pelatihan dengan berkolaborasi dengan lembaga terkait permasalahan remaja seperti dinas kesehatan, kepolisian, dan perguruan tinggi dalam bersinergi mencegah perilaku kekerasan. Melakukan evaluasi secara berkala.
“Sebagai perwujudan kami melawan kekerasan dalam institusi pendidikan, kami akan selalu upayakan untuk meminimalisir bahkan menghapus budaya kekerasan ini. Mudah-mudahan saya juga mendapatkan pelajaran dari pengajian malam ini,” pungkas Aly.