MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA— Problem agraria selalu melibatkan persoalan yang kompleks, karena berkaitan dengan tanah dan segala apa yang ada di dalam dan di atasnya. Dalam perspektif Islam, banyak ucapan dan tindakan Nabi saw yang menjadi rujukan tentang kedudukan, fungsi, dan pengaturan tanah dalam kehidupan manusia. Misalnya hadis: “Barangsiapa mengambil satu jengkal tanah yang bukan haknya, ia akan dikalungi tanah seberat tujuh lapis bumi di hari kiamat” (HR. Muslim).
Konflik agraria yang terus terjadi akibat perebutan lahan, penguasaan lahan yang timpang, konversi lahan pertanian ke industri dan pemukiman yang tidak terkendali, serta kerusakan lingkungan akibat tata kelola agraria yang buruk telah menjadi persoalan yang mendesak dicari solusinya. Hal inilah yang membuat Muhammadiyah menyusun panduan Fikih Agraria, yaitu tata kelola agraria yang bersumber dari ajaran Islam.
“Dalam konteks ke-Indonesiaan, urgensi atau arti penting rumusan fikih agraria ini dapat dilihat sebagai bagian dari kontribusi Muhammadiyah untuk turut berperan dalam membangun kesejahteraan rakyat berdasarkan sistem gagasan Islam di bidang agraria,” ujar anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Moh Shoehada dalam Santri Cendekia Forum pada Selasa (22/02).
Shoehada mengatakan bahwa pada ranah pemikiran, rumusan Fikih Agraria ini berisi tentang pengertian, konsep dan aplikasinya dalam konteks Indonesia. Pada ranah gerakan, Fikih Agraria dapat menjadi spirit yang berpihak pada hajat hidup rakyat. Sedangkan pada ranah etos, rumusan fikih ini berisi tentang nilai-nilai, etika, kearifan dan berbagai aspek yang melingkupinya.
“Penyusunan fikih ini berangkat dari lima problem utama, yaitu belum tercapainya swasembada pangan, rusaknya ekosistem, adanya konflik agraria yang terus terjadi, terpinggirnya komunitas adat sekaligus nilai-nilai lokal, terjadinya krisis pedesaan, dan terakhir, kurangnya akses masyarakat terhadap perumahan yang layak dan ruang publik yang memadai,” terang Shoehadha.
Rumusan Fikih Agraria menggunakan pendekatan bayani, burhani, dan irfani. Bayani merupakan pendekatan melalui jalur al-Quran dan al-Sunah yang diperkaya dengan berbagai teori tafsir, fikih, dan ushul fikih tentang hal-hal yang berkaitan dengan agraria. Burhani merupakan pendekatan dengan jalan hukum yang berlaku, tinjauan sosial ekonomi masyarakat, dan paradigma ilmu tentang ekologi. Sementara irfani merupakan pendekatan yang lebih mengedepankan nurani, kepekaan sosial-kemanusiaan, dan bercermin diri sebagai hamba Allah.
Dengan adanya Fikih Agraria dari Muhammadiyah ini, harapannya sungguh-sungguh melibatkan unsur lain yang cukup memengaruhi pelaksanaan pembaruan agraria, seperti unsur komunitas adat, lembaga swadaya masyarakat, dan agamawan. Hal tersebut penting dilakukan agar konflik agraria dan pengurangan ketimpangan dalam struktur penguasaan lahan dapat dikurangi bila kelewat sulit diselesaikan.