MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA—Pusat Tarjih Muhammadiyah Universitas Ahmad Dahlan kembali menyelenggarakan Santri Cendekia Forum pada Selasa malam (15/12). Topik yang dibahas ialah tentang Kasman Singodimedjo dan Ki Bagoes Hadikoesoemo dalam sejarah kemerdekaan Republik Indonesia, terutama terkait dengan peristiwa penghapusan “tujuh kata” dalam Piagam Jakarta.
Anggota Majelis Dikdasmen Pimpinan Wilayah Yogyakarta Farid Setiawan mengatakan bahwa baik Ki Bagoes maupun Kasman, keduanya merupakan tokoh Muhammadiyah yang menurut beberapa ahli sejarah sangat besar peranannya terhadap awal mula pembentukan dasar negara Indonesia. Terutama saat menjelang detik-detik sidang terakhir PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945.
“Jika Ki Bagoes adalah pribadi yang teguh memegang prinsip, maka Mr. Kasman ini piawai dalam melakukan lobi. Bisa dibilang, Mr. Kasman ini ialah singa podium pada masanya, layaknya Soekarno kalau berpidato itu sangat menggebu-gebu,” terang dosen Universitas Ahmad Dahlan ini.
Ki Bagoes merupakan anggota PPKI yang gigih menghendaki dimasukkannya persuasi kewajiban menjalankan syariat Islam dalam sistem konstitusi negara. Sebagai figur kharismatik yang disegani baik oleh kalangan muslim maupun nasionalis, seluruh tekanan psikologis tentang berhasil atau tidaknya penentuan dasar negara sebenarnya terletak pada pundak Ki Bagoes.
Bagaimana pun, bagi Ki Bagoes, Piagam Jakarta sebelumnya yang memuat “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” adalah kesepakatan bersama (gentlemen’s agreement), dan sudah siap diputuskan pada sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945. Ki Bagoes memegang komitmennya untuk tidak mengubah kesepatan bersama sejak awal.
Akan tetapi, Mohammad Hatta mengusulkan agar kesepakatan ini digugurkan berdasarkan laporan dari seorang perwira Angkatan Laut Jepang yang menyatakan bahwa orang-orang Kristiani di wilayah timur tidak akan bergabung jika terdapat unsur-unsur formalistik Islam dalam Piagam Jakarta. Salah satu tokoh muslim yang dimintai persetujuannya ialah Ki Bagoes.
“Beberapa waktu sebelum sidang PPKI diselenggarakan, Hatta mengajak Ki Bagoes, Wahid Hasyim, Teuku Hasan dan Kasman untuk membincangkan terkait dengan kegelisahan dan keberatan sebagian warga bangsa kita yang berada di kawasan timur,” tutur penulis buku Genealogi dan Modernisasi Sistem Pendidikan Muhammadiyah 1911-1942 ini.
Farid mengatakan bahwa Kasman menjadi juru kunci pemecah kebuntuan dialog antara kelompok Muslim dengan Nasionalis pada detik-detik akhir sidang-sidang PPKI tersebut. Dengan bahasa Jawa halus, Kasman meyakinkan Ki Bagoes bahwa UUD harus segera disahkan karena posisi bangsa Indonesia sekarang terjepit di antara pasukan Jepang dan Belanda.
Ketenangan dan argumentasi logis Kasman berhasil meyakinkan Ki Bagoes agar menerima usul pencoretan “tujuh kata” dalam Piagam Jakarta tersebut. Selain faktor kapasitas individu Kasman yang memang piawai berdiplomasi, faktor kedekatan ideologis, yaitu hubungan antara keduanya sebagai kader Muhammadiyah, juga turut menyukseskan proses negosiasi yang cukup alot.
“Dalam narasi sejarah, tokoh yang terlibat di dalam pencoretan tujuh kata dalam Piagam Jakarta adalah Ki Bagoes, Mr. Kasman, dan Hatta,” tegas Farid Setiawan.