MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA— Tanggal 22-25 Desember 1928, sebuah momentum bersejarah terjadi di Yogyakarta, di gedung Dalem Joyodipuran milik Raden Tumenggung Joyodipero. Kongres Perempuan Indonesia pertama dilaksanakan, menjadi fondasi dari perayaan Hari Ibu yang kini dirayakan setiap tahunnya. Sejarah ini mencatat perjumpaan perempuan-perempuan yang bersatu untuk membahas isu-isu vital seperti pendidikan, ekonomi, dan sosial.
Sekarang, 95 tahun setelah peristiwa bersejarah itu, Hari Ibu bukan hanya menjadi momen untuk merayakan kemajuan perempuan, tetapi juga untuk merenung dan mengevaluasi perjalanan yang telah dilalui. Tri Hastuti Nur Rochimah, Sekretaris Umum PP ‘Aisyiyah, menyoroti pentingnya refleksi dan evaluasi dalam setiap perayaan.
Refleksi Hari Ibu mengajak kita untuk bersyukur atas kemajuan perempuan sejak tahun 1928. Perkumpulan perempuan waktu itu membahas isu-isu yang relevan dengan masa itu, dan sekarang, hasilnya dapat dirasakan oleh perempuan-perempuan saat ini. Namun, refleksi saja tidak cukup.
Evaluasi diperlukan sebagai bahan renungan. Meskipun telah hampir satu abad perempuan membicarakan isu pernikahan anak di bawah umur, tren ini masih mengkhawatirkan. Akses pekerjaan untuk perempuan juga terus menjadi tantangan, dengan sebagian besar perempuan bekerja di sektor informal.
Tri Hastuti mengingatkan kita bahwa sementara banyak prestasi telah diraih, masih ada persoalan-persoalan perempuan yang belum terselesaikan. Hari Ibu, pada akhirnya, menjadi panggilan untuk terus berjuang, mengatasi hambatan, dan menciptakan masa depan di mana perempuan dapat menikmati hak-haknya sepenuhnya. Perayaan ini bukan hanya tentang mengenang masa lalu, tetapi juga menatap masa depan dengan tekad untuk menciptakan perubahan yang lebih baik bagi perempuan Indonesia.
Peran ‘Aisyiyah dalam Hari Ibu
Seiring dengan makna Hari Ibu yang merayakan sejarah perempuan Indonesia, tak dapat dipisahkan dari peran aktif Gerakan Perempuan ‘Aisyiyah dalam menggagas Kongres Perempuan Indonesia tahun 1928. Bersama-sama dengan Wanita Katolik Indonesia dan Wanita Taman Siswa, ketiga gerakan ini menjadi pionir yang merintis perjalanan panjang perjuangan perempuan di negeri ini.
Hingga saat ini, Gerakan Perempuan ‘Aisyiyah, Wanita Katolik Indonesia, dan Wanita Taman Siswa tetap eksis, menyuarakan isu-isu yang masih relevan dengan zaman. Dalam kongres tersebut, dua tokoh utama dari ‘Aisyiyah, Siti Munjiyah dan Siti Hayinah, memiliki peran kunci.
Siti Hayinah, dengan pidato luar biasanya, memusatkan perhatian pada isu persatuan. Pidatonya mencerminkan pandangan bahwa organisasi perempuan harus bersatu, membicarakan persatuan Indonesia sebagai landasan untuk membawa perubahan yang positif. Tri Hastuti Nur Rochimah, Sekretaris Umum PP ‘Aisyiyah, mengingatkan kita akan urgensi pembicaraan persatuan di kalangan organisasi perempuan.
Sementara itu, Siti Munjiyah memberikan pesan yang kuat tentang peran gerakan perempuan dalam membangun bangsa. Sebelum Indonesia merdeka, kesadaran akan berbangsa telah tumbuh di kalangan perempuan, terutama di dalam ‘Aisyiyah. Mereka tidak hanya aktif dalam isu-isu perempuan, tetapi juga menyuarakan pentingnya peran perempuan dalam pembangunan bangsa.
Sejarah Kongres Perempuan Indonesia tahun 1928 menjadi bagian integral dari perjuangan perempuan di Indonesia, menciptakan landasan kuat untuk perubahan yang lebih baik. Dengan mengenang peristiwa ini pada setiap Hari Ibu, kita diingatkan untuk terus menerus mengembangkan semangat perempuan dan memastikan bahwa peran mereka dalam membangun bangsa tetap dihargai dan diakui.