MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA— Zakat merupakan salah satu sendi pokok ajaran Islam. Perintah menunaikan zakat biasanya sering disebut di dalam al-Qur’an bergandengan dengan perintah salat. Pelaksanaan salat melambangkan hubungan baik seseorang dengan Tuhan, sedangkan zakat adalah lambang harmonisnya hubungan sesama manusia. Bahkan zakat dipandang sebagai realitas kebajikan sosial sekaligus kesalehan individual.
Allah Swt telah menentukan delapan golongan yang berhak menerima zakat dalam QS. al-Taubah: 60, yaitu: orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengelola zakat, mualllaf, ibnu sabil, orang-orang yang memiliki utang, riqab (budak), dan orang yang berjuang di jalan Allah. Karena adanya perubahan kehidupan dari masa ke masa, maka definisi golongan delapan ini perlu pengembangan agar lebih relevan dengan konteks kekinian.
Salah satu kata yang perlu dilakukan kontekstualisasi ialah “al fuqara” atau orang-orang fakir. Menurut Al Ashfahani dalam kitab Mu’jam Mufradat Alfadz al-Qur’an, al-faqr atau orang fakir memiliki empat kriteria, yaitu 1) adanya kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi (dlaruriyyah) dan dialami oleh seluruh umat manusia di dunia, bahkan oleh seluruh makhluk Allah; 2) tiadanya kekayaan dan penghasilan; 3) kemiskinan jiwa; dan 4) kebutuhan kepada Allah.
Dalam buku Fikih Zakat Kontemporer yang telah dibahas di Munas Tarjih ke-31 tahun 2020 disebutkan bahwa al-Fuqara’ adalah orang-orang yang tidak memiliki kekayaan dan penghasilan atau orang melarat yang tidak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan primer/dasar (pangan, sandang, papan, kesehatan dan pendidikan). Dalam buku tersebut juga disebutkan bahwa salah satu kriteria yang relevan disebut orang fakir ialah orang yang kehilangan harta benda karena bencana.
Karenanya, meskipun QS. al-Taubah: 60 tidak secara spesifik menyebutkan korban bencana sebagai salah satu yang berhak menerima dana zakat. Namun demikian, melihat kondisi yang sedang dialami oleh korban bencana, tidak menutup kemungkinan mereka mendapatkan bagian dari dana zakat dengan menganalogikannya sebagai golongan fakir. Dengan syarat: korban bencana berada dalam kondisi sangat membutuhkan, sebagaimana pengertian fakir.
Dalam buku Fikih Kebencanaan yang telah diputuskan Pimpinan Pusat Muhammadiyah tahun 2018 menegaskan bahwa penyaluran dana zakat untuk korban bencana dibolehkan dengan ketentuan diambilkan dari bagian fakir miskin, atau boleh juga dari bagian orang yang berhutang (gharimin), karena dimungkinkan untuk memenuhi kebutuhannya, korban bencana harus berhutang. Dengan demikian bagian mustahiq yang lain tidak terabaikan, karena dapat disalurkan secara bersama-sama.