MUHAMMADIYAH.ID, JAKARTA – Baru-baru ini, Senin (9/11) Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menggelar Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI Se-Indonesia VII. Dari 12 poin kesepakatan, Ijtima salah satunya mengharamkan pinjaman online (pinjol) dan pinjaman offline yang mengandung riba.
“Layanan pinjaman, baik offline maupun online, yang mengandung riba hukumnya haram, meskipun dilakukan atas dasar kerelaan,” ujar Asroru Niam, Ketua Komisi Fatwa MUI.
Menanggapi pengharaman pinjol yang masuk dalam poin urutan ketujuh itu, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Anwar Abbas sepakat dengan keputusan Ijtima MUI.
“Praktik ribawi itu diutak-atik bagaimana pun tetap akan menimbulkan kemafsadatan karena menentang Sunnatullah atau hukum alam. Hukum alamnya orang kalau berusaha ada tiga kemungkinan yang akan dia hadapi, yaitu untung, rugi, atau pulang pokok,” ujar Anwar, Sabtu (13/11).
“Bisakah kita menentang hukum alam? Jawabnya bisa. Cuma kalau kita tentang, maka kita sendiri dan masyarakat luaslah yang akan menanggung resiko serta bencana dan malapetakanya,” imbuhnya.
Meski demikian, Anwar mengatakan bahwa pinjaman online maupun pinjaman offline yang tidak bertentangan dengan hukum syariat tetap diperbolehkan.
Sebelumnya, Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI menyatakan pada dasarnya perbuatan pinjam-meminjam atau utang-piutang merupakan bentuk akad tabarru’ (kebajikan) atas dasar tolong-menolong yang dianjurkan sepanjang tidak bertentangan dengan nilai-nilai syariah.
Ijtima menetapkan bahwa sikap sengaja menunda pembayaran utang bagi yang mampu membayar hukumnya adalah haram. Begitu juga hukum bagi yang memberikan ancaman fisik atau membuka rahasia (aib) peminjam yang tidak memiliki kemampuan membayar utang.
Sementara itu, Ijtima menetapkan bahwa memberikan penundaan atau keringanan dalam pembayaran utang bagi orang yang mengalami kesulitan merupakan perbuatan yang dianjurkan (mustahab).