MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA—Dalam Mazhab Syafii, Ijma maupun qiyas melengkapi sumber hukum selain Al-Quran dan Hadis. Pasalnya, dua sumber utama ajaran Islam belum cukup mampu menjawab segala permasalahan realitas yang semakin kompleks, dan ditunjang pula oleh perbedaan pendapat yang semakin sengit di masanya.
Akan tetapi dalam pandangan Muhammadiyah, karakter kerja yang berbeda membuat ijma dan qiyas tidak dijadikan sebagai sumber ajaran agama yang pokok. Sebab, secara mashadir ahkam, yang dimaksud nash itu hanya al-Quran dan al-Sunah. Sedangkan ijma dan qiyas bukan bagian dari nash (ghair al-nash). Pandangan ini berangkat dari asumsi bahwa ijma dan qiyas lebih sebagai proses bukan produk.
“Banyak perdebatan apakah ijma dan qiyas ini sumber pokok atau bukan? Muhammadiyah termasuk yang tidak memposisikan ijma dan qiyas sebagai sumber pokok, tapi sumber paratekstual,” kata anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah dalam acara yang diselenggarakan Masjid Islamic Center Universitas Ahmad Dahlan pada Ahad (21/11).
Dengan demiikian, sumber utama ajaran agama dalam pandangan Muhammadiyah adalah al-Quran dan al-Sunah al-maqbulah, sedangkan sumber paraktekstual berupa qiyas, maslahat mursalah, istihsan, istishab, saddu al-zari’ah, syar’u man qablana, dan urf.
Dengan memposisikan ijma dan qiyas sebagai sumber paraktekstual, Muhammadiyah secara konsisten menilai bahwa pintu ijtihad tetap terbuka, tidak pernah dan tidak boleh ditutup oleh siapa pun, hanya saja diperlukan perangkat ilmu dan metodologis sesuai dengan jiwa ajaran Islam.