MUHAMMADIYAH.OR.ID, JAKARTA– Kemiskinan dan ketimpangan di daerah masih menjadi pekerjaan rumah bersama. Tingkat kesejahteraan juga masih rendah. Data dari laporan Badan Pusat Statistik (BPS), menemukan sebesar 10,14 persen atau sebanyak 27,54 juta penduduk Indonesia berstatus miskin per Maret 2021.
Terkait dengan itu, Muhammad Sabeth Abilawa, Direktur Utama Lazismu mengatakan bahwa Lazismu sebagai lembaga amil zakat memiliki tantangan dan peluangnya sendiri. Namun demikian, LazisMu terus mengupayakan memangkas ketimpangan dan kemiskinan di desa.
Dalam konteks kemiskinan di desa, Sabeth menambahkan, di Lazismu yang dapat diambil contoh misalnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di Jawa Tengah, Lazismu Banyumas dan Sragen memiliki model tersendiri bagaimana tata kelola zakat dalam ruang lingkup daerah dapat beroperasi.
“Dan mungkin dalam konteks kasus tertentu berbeda dengan apa yang dialami lembaga amil zakat berbasis yayasan,” ucapnya dalam Diskusi dan Diseminasi yang selenggarakan Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) pada, 28 sampai 29 September 2021 di Mercure Hotel, Jakarta.
Dalam diskusi tersebut, Sabeth juga mengemukakan beberapa model yang telah dilakukan oleh LazisMu di hadapan Lembaga Amil Zakat, Badan Amil Zakat, Forum Zakat, Perkumpulan Organisasi Pengelola Zakat (POROZ), dan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia.
“Model ini hanya sebagai contoh yang terjadi di Lazismu bahwa dalam ruang lingkup daerah lembaga amil zakat dapat memberikan sumbangsih di daerahnya,” jelas Sabeth.
Di Jawa Timur, terang Sabeth, juga ada beberapa daerah yang sama, Sidoarjo misalnya, dukungan entitas Muhammadiyah memberikan informasi yang berarti bagaimana tata kelola zakat di suatu daerah bisa berdampak di masyarakat.
Karena itu dibutuhkan pengembangan program dan penghimpunan yang kuat, sehingga dari beberapa model yang dijalankan Lazismu di daerah sebagai perbandingan yang bisa dilihat.
“Di sanalah sebetulnya wajah Indonesia dilihat, potensi desa selama ini sulit berkembang meskipun ada dana desa, namun bukan untuk pemberdayaan”, paparnya.
Dalam skala lain, ungkap Sabeth, harus ada intervensi yang perlu ditangani, maka hal ini perlu dicegah agar tidak terjadi migrasi besar-besaran. Wawasan dan literasi filantropi memang perlu digalakkan terus menerus untuk membuka realitas yang ada.