Oleh: Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir
Tim bulutangkis Indonesia baik Thomas maupun Uber kalah dari Tiongkok. Hanya Jonatan Christie yang menang, lainnya kalah. Alhamdulillah masih bisa runner-up, meski berharap juara. Semua pemain dan official sudah berusaha, tetapi belum berhasil. Dua tahun ke depan berharap kedua tim juara, tentu dengan persiapan matang dan optimal dari sekarang. Sebab tim negara lain juga akan melakukan persiapan yang sama, mungkin lebih baik dari kita.
Selamat kita ucapkan untuk Tim Thomas dan Uber dengan posisi juara kedua. Kita pendukung dan penonton hanya bisa memberi semangat dan berkomentar. Merekalah yang berjuang di lapangan. Kita bisa kasih pendapat ini dan itu, selebihnya para pemain dan seluruh tim official yang berjuang meraih keberhasilan atau sebaliknya merasakan pahitnya kegagalan.
Jangan berputus asa dan mengendor semangat untuk bangkit ke depan. Kalau boleh berbagi pandangan, mungkin perlu langkah progresif bagi pengurus PBSI dalam pembibitan pemain. Lakukan talent-scouting calon-calon pemain berbakat secara TSM (terstruktur, sistematik, masif) agar lahir pemain-pemain hebat dengan pilihan terbaik.
Ingat, Indonesia memiliki tradisi dan sejarah besar bulutangkis di tingkat dunia. Kita pernah 14 kali juara Thomas, terbanyak. Tiongkok baru 11 kali, disusul Malaysia 5 kali. Untuk Uber memang Tiongkok terbanyak 16 kali, Indonesia baru tiga kali juara. Tim bulutangkis Indonesia sangat ditakuti dan disegani lawan.
Indonesia pernah memiliki maestro-maestro pebulutangkis ternama. Ferry Sonneville, sang legenda Rudy Hartono, Liem Swie King, Iie Sumirat, Icuk Sugiarto, Alan Budi Kusuma, Taufik Hidayat, dan lain-lain. Putri ada Verawati Fajrin dan Susi Susanti sang legenda. Di ganda putra ada legendaris Tjuntjun/Johan Wahyudi serta Cristian Hadinata/Ade Chandra, disusul Ricky Subagja/Rexy Mainaky serta Marcus Gideon/Kevin Sanjaya. Mereka selain berbakat, juga petarung sejati yang membuat Indonesia jaya.
Kini generasi Jonatan Christie dan Fajar Alfian/Muhammad Rian Ardianto sedang mengukir prestasi. Tentu tentu berat karena tantangannya juga lebih berat dari negara lain yang makin maju seperti Tiongkok, Jepang, Korea Selatan, Denmark, dan lainnya.
Mungkin soal mentalitas petarung yang penting terus ditingkatkan di diri para pemain. Di luar aspek skill dan teknis. Bagaimana setiap bertanding sesulit apapun tidak gampang menyerah. Satu angka itu sangat berharga. Kita pernah menyaksikan Rudy Hartono bertarung. Peraih 8 kali juara All England ini tahun 1974 ketika di semifinal melawan Sture Johnson dari Swedia. Di babak pertama kalah 11-15. Di babak kedua tertinggal 0-14 sehingga Johnson tinggal satu angka dia menang. Tapi Rudy membalikkan keadaan, dia terus tambah angka, sampai akhirnya unggul 17-14. Di babak ketiga dia menghabisi lawan 15-0. Akhirnya dia ke final dan menang lawan pemain tangguh Svend Pri dari Denmark yang keduanya langganan finalis kejuaraan dunia bergensi tersebut.
Rudy menjadi legenda pebulutangkis Indonesia dan dunia yang belum ada tandingannya. Kekuatan dia selain skill adalah mentalitas pantang menyerah yang luar biasa. Tentu setiap orang berbeda dan tidak dapat disamakan. Tapi mentalitas tangguh dan petarung niscaya ditanamkan dan menjadi modal penting bagi para pemain bulutangkis maupun cabang olahraga lain di Indonesia jika ingin mengukir prestasi cemerlang di pentas dunia.
Mentalitas tangguh pantang menyerah dibutuhkan dari seluruh anak bangsa jika ingin Indonesia maju dan berjaya di seluruh bidang kehidupan. Tradisi besar, menuntut mentalitas superhebat. Sebaliknya, tradisi kecil melahirkan manusia cengeng, bermental benalu, mengandalkan kebesaran dan katrolan orangtua, lembek, menerabas, dan ingin sukses tanpa berkeringat. Generasi muda Indonesia saat ini ke depan jadilah petarung sejati yang gigih, mandiri, dan rendah hati sekaligus mengukir prestasi!