MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA—Pada Muktamar ke-37 tahun 1968 di Yogyakarta ditetapkan kebijakan “Re-Tajdid” atau memperbarui kembali Muhammadiyah. Muktamar ini diadakan untuk pertama kalinya di masa Orde Baru yang melakukan kebijakan depolitisasi dan deideologisasi. Selain itu, keterlibatan Muhammadiyah di Partai Masyumi sebelum itu dirasa berdampak pada stabilitas gerak organisasi.
Karena itulah Muhammadiyah sadar perlu segera cepat memperbaharui gerakannya agar tidak terjebak pada politik praktis sekaligus pemahaman agama yang sempit. Terdapat lima agenda Retajdid ini, di antaranya: pertama, tajdid dalam bidang teologi dan ideologi. Hasilnya tahun 1969 Muhammadiyah menerbitkan “Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah”.
Salah satu poin dalam Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah yaitu: “Muhammadiyah adalah gerakan Islam dan dakwah amar ma’ruf nahi munkar, beraqidah Islam dan bersumber pada Al Quran dan Sunnah, bercita-cita dan bekerja untuk terwujudnya masyarakat utama, adil, makmur yang diridloi Allah, untuk melaksanakan fungsi dan misi manusia sebagai hamba dan khalifah Allah di muka bumi.”
Kedua, tajdid dalam bidang perjuangan. Setelah Muhammadiyah beralih dari era Orde Lama yang penuh pertarungan ke era Orde Baru. Hasilnya tahun 1971 lahirlah apa yang disebut dengan “Khittah Muhammadiyah”. Inti dalam khittah ini menegaskan bahwa Muhammadiyah akan tetap istiqomah dalam mengemban fungsi dakwah dan tajdidnya sebagai gerakan Islam yang berkiprah dalam lapangan sosio-kemasyarakatan.
Ketiga, tajdid dalam bidang dakwah. Hasilnya tahun 1968 melahirkan seruan “Gerakan Jamaah dan Dakwah Jamaah”. Akan tetapi karena konsepnya masih terlalu umum, “Gerakan Jamaah dan Dakwah Jamaah” ini diganti pada tahun 2002 dengan “dakwah kultural”, dan pada tahun 2015 diganti lagi menjadi “dakwah komunitas”.
Kebijakan ini dimaksudkan sebagai suatu usaha persyarikatan, melalui anggotanya yang tersebar di seluruh tanah air, untuk secara serempak dan terencana meningkatkan keaktifan membina lingkungannya ke arah kehidupan yang sejahtera lahir dan batin.
Keempat, tajdid dalam bidang amal usaha. Hasilnya program dan kebijakan persyarikatan membangun pusat-pusat layanan sosial-kemasyarakatan. Karena itulah, arti penting keberadaan Muhammadiyah bukan terletak kepada presensi organisasinya, akan tetapi pada sejauh mana Muhammadiyah memberikan manfaat kepada masyarakat.
Kelima, tajdid dalam bidang organisasi. Menurut Haedar Nashir dalam Pengajian Ramadan PP Muhammadiyah pada Jumat (17/04), tajdid dalam bidang organisasi ini memerlukan design baru. Pada kesempatan itu Haedar mengajak kepada narasumber Pengajian Ramadan maupun hadirin warga Muhammadiyah agar menyusun beberapa poin penting pembaharuan organisasi yang terkait dengan nilai, pelaku, sistem atau struktur, budaya, dan lingkungan.
“Pembaharuan organisasi ini bisa membawa Muhammadiyah bukan hanya mengusung Islam Berkemajuan dan gerakan Islam Pencerahan, tetapi organisasi dalalm dirinya sendiri, anggota kader dan pimpinannya juga menjadi orang dan organisasi yang berkemajuan, berpikir yang mencerahkan, dan bertindak yang bermanfaat,” ungkap Haedar.
Pada sesi akhir Haedar berharap Muhammadiyah kembali dan terus menjadi uswah hasanah bagi pergerakan Islam di Indonesia untuk rahmat semesta alam. Dengan mengucap basmalah, Ketua Umum PP Muhammadiyah ini membuka acara secara resmi acara Pengajian Ramadan dari 16 s/d 18 April 2021 Masehi.