MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA – Muhammadiyah ini sangat peduli dan memiliki respon yang bagus untuk perempuan atau muslimah.
“Sebagai contoh Nyai Walidah di umur yang tidak muda, masih bersemangat untuk belajar tidak hanya belajar agama Bahasa Belanda, Melayu, keterampilan dan masih banyak lagi dalam rangka meningkatkan kapasitas sebagai seorang Muslimah yang tidak hanya sekedar konco wingking (teman di belakang),” ujar Diyah Puspitarini, Ketua Umum PP Naysiatul ‘Aisyiyah/.
Dijelaskan Diyah, dulu saat era Kiai Dahlan ada istilah wong wedok kui urusane ming dapur, kasur, sumur (mengurusi urusan domestic saja) maka Kiai Dahlan merubah mindset itu dengan mengijinkan Nyai Walidah istrinya, untuk belajar lebih banyak dan menyekolahkan putri dan saudara-saudaranya yang perempuan di Sekolah Belanda.
“Meskipun waktu itu yang mereka belum menerima anak pribumi (orang asli Indonesia) untuk sekolah di Sekolah Belanda, perempuan lagi, tetapi itu dilakukan oleh Kiai Dahlan,” terang Diyah.
Setelah proses Pendidikan tersebut, mulailah berdiri ‘Aisyiyah dan Nasyiatul Aisyiyah. Dulunya, ‘Aisyiyah didirikan oleh anak-anak muda usia 15 tahun. Menjadi kebanggaan ketika, organisasi yang terlah berusia 1 Abad ini telah menghasilkan banyak karya bagi bangsa melalui pendidikan dan kesehatan seperti sekolah, perguruan tinggi, dan rumah sakit.
Tidak hanya itu, Diyah mengatakan, bahwa ‘Aisyiyah juga telah menghasilkan kader-kader bangsa yang hebat. Perempuan-perempuan muda berkemajuan ini terus berkhidmat membangun bangsa dan membuat karya.
Paparan ini dijelaskan Diyah dalam Baitul Arqam Madya Virtual Madrasah Muallimaat Muhammadiyah yang diselenggarakan daring pada Sabtu – Ahad (30-31/1).