MUHAMMADIYAH.ID, YOGYAKARTA – Praktek wakaf telah dimulai oleh Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasalam dengan pembangunan Masjid Nabawi. Para sahabat seperti Abu Bakar, Umar ibn Khattab, Ustman bin Affan hingga Abu Thalhah tercatat mewakafkan harta terbaik yang dimilikinya.
Apa yang mereka wakafkan menjadi acuan bagi apa yang kita kenal sekarang sebagai wakaf produktif. Yaitu, wakaf yang aset utamanya tetap dijaga agar utuh dan dikelola, yang mana hasil pengelolaannya diperuntukkan sebagai kemanfaatan kepada umat.
Dalam pengajian bulanan PP Muhammadiyah, Jumat (12/2) Ketua Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) RI Noor Ahmad menyinggung bahwa wakaf produktif pada masa sahabat berupa tanah, sumur, dan perkebunan.
Dalam perkembangan zaman, Noor Ahmad menganggap bahwa wakaf produktif sebenarnya bisa dilakukan dengan uang (wakaf tunai) sebagaimana konsep dana abadi milik lembaga pemberi beasiswa LPDP maupun konsep dana kemaslahatan milik Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH).
Seperti diketahui, LPDP mengelola dana abadi 70 Triliun rupiah yang hasil pengelolaannya digunakan sebagai pembiayaan mahasiswa asal Indonesia di berbagai negara. Dengan konsep yang sama, BPKH mengelola dana abadi yang hasil pengelolaannya dipergunakan untuk kebutuhan umat Islam.
“Yang menjadi persoalan sekarang ini butuh fatwa MUI, apakah wakaf uang itu perlu ada ijin atau tidak. Karena perkembangan rupiah atau uang itu kan fluktuatif sehingga kalau wakaf uang hari ini 1 miliar, 5 sampai 10 tahun mendatang bisa di bawah 1 miliar,” ungkapnya.
Noor Ahmad mengakui hingga saat ini para ulama di Indonesia mayoritas masih sangat berhati-hati (bersikap tradisional) dalam menyikapi optimalisasi dana dari wakaf tunai.
Majelis Ulama Indonesia sendiri pada 11 Mei Tahun 2002 sebenarnya telah mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa wakaf uang tunai (waqful nuqud) dihukumi sah atau (jawaz).
Peraturan wakaf tunai selanjutnya diperjelas dan diperkuat oleh Peraturan Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf Uang Badan Wakaf Indonesia (BWI) No. 1 tahun 2009.
Apa yang dipersoalkan oleh Noor Ahmad adalah belum adanya fatwa yang menjelaskan secara terperinci mengenai boleh tidaknya aset wakaf tunai dikonversi menjadi wakaf tidak bergerak (bangunan) atau dipergunakan langsung sebagai pembiayaan pendidikan sebelum aset wakaf tunai mendapatkan hasil dari pengelolaannya.
“Sampai sekarang ini belum ada keberanian (fatwa). Sekali lagi ini berarti membutuhkan pemikiran yang lebih lanjut,” ungkapnya.