Oleh: Ilham Ibrahim
Wardan Diponingrat lahir di Kampung Kauman, Yogyakarta pada Jumat, 19 Mei 1911. Sejak tahun 1960, ia menjadi anggota aktif Majelis Tarjih. Kelebihannya dalam ilmu agama, terutama di bidang falak, berdasarkan Muktamar Muhammadiyah ke-35 tahun 1962 di Jakarta, ia ditunjuk mengemban amanah menjadi ketua Majelis Tarjih tingkat pusat. Sejak tahun 1963-1985, selama 22 tahun tersebut mengabdikan dirinya di Majelis Tarjih yang memberinya ruang untuk mengaplikasikan temuannya dalam paham keagamaan maupun bidang astronomis.
Wardan bukanlah sosok ilmuwan yang sepanjang hari berkutat di laboratorium atau ulama yang menghabiskan seluruh waktunya membaca turats. Sebagai ilmuwan cum ulama, dirinya tidak hidup di menara gading dan melihat keriuhan masyarakat dari ketinggian. Salah satu problem konkret masyarakat yang segera ditanggapinya ialah tentang kekhawatiran defisitnya stok ulama di lingkungan Muhammadiyah. Kekhawatiran ini berawal dari kegelisahan Umar Afandi, anggota Majelis Tarjih ketika itu.
Pada tahun 1968, Wardan menulis artikel di Majalah Suara Muhammadiyah yang bertajuk “Fungsi Ulama dan Tugas Madjlis Tardjih”. Dalam tulisannya, ia menyoroti tentang peran dan fungsi ulama, kemudian diakhiri dengan pentingnya kaderisasi ulama bagi warga Muhammadiyah. Baginya, ulama yang ideal adalah sosok yang berpengetahuan luas, unggul dalam istinbat hukum, berakhlak baik dalam pergaulan, bertakwa kepada Allah dan Rasul-Nya, memiliki intesitas ibadah yang baik, dan mampu pemimpin dan pembimbing umat.
Dalam artikelnya, Wardan menyayangkan bila gerak langkah Muhammadiyah semakin meluas, demikian pula dengan berbagai amal usaha, haruslah dibarengi dengan kualitas dan kuantitas ulamanya. Sebab ulama berperan sebagai pemberi fatwa dari tumpukan persoalan keagamaan yang dihadapi masyarakat. Oleh sebab itu, diperlukan ulama yang memiliki kemampuan mencari titik paling maslahat antara idealisme hukum dengan realitas sosial.
Apalagi, saat itu, umur Majelis Tarjih yang didirikan 1927 telah berusia 41 tahun. Artinya, banyak ulama Muhammadiyah yang sudah udzur dan mulai tidak produktif bahkan sebagian telah meninggal dunia, ditambah lagi dominasi generasi muda Muhammadiyah yang pada waktu itu tidak cukup cakap bahasa Arab secara baik dan menguasai turats. Wardan khawatir bila dalam beberapa dekade ke depan persoalan ini dibiarkan tanpa ada solusi nyata, persyarikatan akan kehabisan stok ulama yang sejalan dengan denyut nadi kaidah-kaidah hukum tarjih. Ia menulis:
“Lain daripada itu, ada satu hal jang hingga sekarang masih tetap mendjadi keprihatinan kita dan jang sewadjarnja pula harus mendjadi pemikiran kita bersama, iaitu pengkaderan Ulama Tardjih, soal mepersiapkan Kader2 Tardjih. Hal ini dirasa amat penting sekali mengingat djumlah Ulama Muhammadijah tidak bertambah, bahkan berkurang karena jang ada tidak sedikit jang telah mendahului kita (meninggal dunia) sedang jang baru belum kelihatan tampak, karena pula dalam angkatan muda tampak gedjala2 kurangnja perhatian dan kurang tertarik kepada persoalan2 hukum agama (Islam).”
Meski Muhammadiyah sesungguhnya telah memiliki lembaga pendidikan kader seperti Qismul Aqra yang didirikan KH. Ahmad Dahlan (sekarang Mu’allimin Yogyakarta), Akademi Tabligh Muhammadiyah (ATM) tahun 1951, dan Madrasah Muballighin. Namun, Wardan merasa lembaga pendidikan kader tersebut belum terlalu fokus pada penekanannya untuk mencetak dan mendidik kader ulama tarjih yang yang memiliki kualifikasi seminimal-minimalnya sebagai mujtahid pemula.
Wardan menginginkan model kaderisasi ulama yang setara dengan perguruan tinggi dan diharapkan menjadi aset Muhammadiyah yang kelak mengisi pos-pos ulama di masa depan. Sebab kematangan mental dan intelektual dalam diri seorang ulama tentu menjadi bagian terpenting dalam membimbing warga Muhammadiyah yang nantinya akan disebar ke berbagai daerah. Karenanya, lembaga kaderisasi ulama ini outputnya harus setara dengan sarjana di peguruan tinggi.
Akan tetapi, pada awalnya kurang mendapat dukungan dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Mereka keukeuh agar memaksimalkan lembaga pendidikan Muhammadiyah yang telah ada. Wardan mengisahkan, “Perentjanaan jang telah lengkap itu sedang dalam pertimbangan PP. Muhammadijah. Mengingat kebutuhan akan adanja Pendidikan Tardjih itu semakin medesak, maka untuk sementara sambil menunggu kelengkapannja, PP. Madjlis Tardjih telah mengambil langkah, pendirian Pendidikan Tardjih itu segera dimulai meskipun baru dalam tingkat persiapan.”
Meskipun tidak mendapat respons positif dari elit Muhammadiyah, Wardan beserta Umar Afandi dan anggota Majelis Tarjih lainnya tetap ingin mewujudkan harapannya membuat lembaga kaderisasi ulama. Melalui berbagai drama dan doa-doa anggota Majelis Tarjih, akhirnya keinginan kuat untuk mendirikan lembaga kaderisasi ulama tarjih terjawab pada 12 Muharram 1388 H atau 10 April 1968 M sekolah kader tarjih dibuka secara resmi dengan nama Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah (PUTM) berkedudukan di Yogyakarta. Wardan menulis:
“Maka pada tgl. 12 Muharram 1388 H atau 10 april 1968 M dengan disaksikan oleh PP. Muhammadijah, Pendidikan Kader Ulama Tardjih tersebut diatas telah dimulai serta dibuka dan diresmikan berdirinja dengan nama PENDIDIKAN ULAMA TARDJIH MUHAMMADIJAH berkedudukan di Jogjakarta. Penghargaan PP. Muhammadijah Madjlis Tardjih, hendaknja atas inisiatip Pimpinan Madjlis Tardjih Wilajah dan Daerah dapat pula didirikan Pendidikan Ulama Tardjih sematjam diatas ditempatnja masing-masing. Fatabiqul Chairat”.
Dengan berdirinya PUTM ini, diharapkan mampu menghasilkan ulama yang menjadi motor penggerak perjuangan persyarikatan ke arah tercapainya masyarakat utama yang dicita-citakan. Dengan demikian, pendirian PUTM merupakan wujud iktiyar meregenerasi ulama tarjih yang tidak boleh terputus dalam rangka menjaga marwah ciri progresivitas dan modernitas pandangan keagamaan persyarikatan Muhammadiyah.
Perjuangan Wardan dan anggota Majelis lainnya dalam mendirikan institusi kader ulama ini tidak boleh kita sia-siakan!