MUHAMMADIYAH.OR.ID, LAMPUNG — Salah satu ciri Muhammadiyah sebagai gerakan Islam Berkemajuan ialah mendirikan organisasi perempuan yakni ‘Aisyiyah. segera setelah itu bermunculan banyak program dan aktivisme yang sarat nilai dari perkumpulan perempuan Muhammadiyah ini. Bahkan, pada tahun 1926, ‘Aisyiyah telah menerbitkan satu majalah yang hingga hari ini kita semua masih dapat membacanya, yaitu Suara ‘Aisyiyah.
Menurut Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir, salah satu motif pendirian ‘Aisyiyah terinsipirasi dari QS. An Nahl ayat 97 yang mendorong baik laki-laki maupun perempuan agar melakukan amal saleh. Ayat ini turun sebagai respon situasi dan kondisi jahiliyah yang melakukan diskriminasi terhadap perempuan.
Menurut Haedar, Islam membebaskan budaya diskriminatif ini. Jika dulu kelahiran perempuan dipandang aib sosial, bahkan wajah-wajah mereka mesti ditutup, Islam datang memberikan pencerahan. Dalam hukum Islam yang dipahami Muhammadiyah, wajah perempuan itu bukan urusan aurat, maka tidak perlu ditutup semua. Selain itu, membiarkan wajah terbuka tanpa cadar merupakan langkah untuk saling mengenal untuk memperpanjang silaturahmi.
“Mengenal seseorang itu kunci utamanya di wajah. Coba kalau ditutup semua, kita nggak mengenal ibu BPH, jangan-jangan kita nggak akan tahu istri kita datang, lha iya karena ditutup, karena itu jangan sampai ada paham seperti ini di Muhammadiyah, karena apa? tidak sejalan dengan Islam dengan Al Qur’an, dengan pandangan hidup Muhammadiyah dan konteksnya berbeda,” ucap Haedar.
Selain itu, alasan lain mengapa masyarakat pra-Islam disebut jahiliyah karena merendahkan kaum perempuan. Padahal, baik perempuan maupun laki-laki keduanya dipandang sama di hadapan Allah sebagai hamba dan khalifah. Karena dipandang sama, maka keduanya berpotensi mendapatkan kebaikan hidup dan kekal bahagia di dalam surga nanti.
“Jadi bukan karena perbedaan jenis kelamin. Islam memberdayakan membebaskan perempuan menjadi manusia yang bermartabat sama dengan laki-laki,” terang Haedar.
Satu produk ijtihad Muhammadiyah terbaru yang menyangkut perempuan adalah Fikih Perlindungan Anak. Putusan yang dirumuskan tahun 2018 ini meskipun bertajuk tentang perlindungan anak, tetapi mengandung beberapa hal yang berkaitan dengan isu perempuan.
Di antaranya ialah bagaimana memandang anak, baik laki-laki maupun perempuan, secara adil. Ini misalkan ditegaskan oleh putusan tersebut dalam kalimat, “makna kata al-walad atau al-mawlūd mengandung arti bahwa tidak ada diskriminasi antara anak laki–laki dan anak perempuan. Keduanya sama-sama dilahirkan dengan penuh perjuangan dan pengorbanan, sehingga tidak layak untuk ditelantarkan”.
Hits: 15