MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA— Pada 461 H saat berusia 11 tahun, al Ghazali masuk Madrasah Nizhamiyah di Nishapur dan berguru kepada Imam Haramain Al Juwaini. Kedua ulama besar ini memiliki hubungan sebagai murid dan guru yang menarik untuk dikaji.
Dalam catatan Abdul Ghafir al Farisi (teman sekaligus murid Al Ghazali) disebutkan bahwa di antara semua murid, Al Ghazali merupakan murid yang paling cemerlang di bawah bimbingan Al Juwaini. Al Farisi menyebutkan bahwa Al Ghazali selalu serius dan bekerja keras saat belajar.
Kerja kerasnya ini membuahkan prestasi yang gemilang hingga melampaui rekan-rekannya yang lain dalam hal pemikiran, pemahaman, dan penalaran. Tak heran bila Al Juwaini merasa bangga memiliki murid yang kapasitas nalarnya di atas rata-rata. Namun, sebagai seorang remaja yang sedang menikmati gelora intelektual, al Ghazali memiliki sisi gelap yang kurang disukai gurunya: kalau berbicara cepat sekali dan sedikit arogan hingga suka memandang rendah orang lain.
“Satu sisi Imam Al Juwaini ini bangga dengan Al Ghazali sebagai muridnya, produk intelektualnya. Tapi di sisi lain tidak suka dengan al Ghazali karena kalau ngomong cepat sekali dan tabiatnya agak arogan serta suka memandang rendah orang lain,” ucap Muhamad Rofiq Muzakkir dalam kajian tentang Al Ghazali yang diselenggarakan PCIM Amerika Serikat dan Center for Integrative Science and Islamic Civilization (CISIC) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) pada Sabtu (03/08).
Sementara itu, dalam kitab Al Muntadham fi al Tarikh karya Ibn al Jauzi juga mengungkap hubungan unik AL Ghazali dan Al Juwaini ini. Beberapa waktu setelah kitab pertama Al Ghazali terbit pada 473 H yaitu al-Mankhul min Ta’liqat al-Ushul, Al Juwani merasa tersaingi atas karya tulis muridnya itu.
Imam Haramain lantas mengatakan: ‘kamu (al Ghazali) telah menguburku padahal aku masih hidup, tak bisakah kamu bersabar sedikit, publikasikan bukumu setelah aku meninggal. Karena bukumu menutupi karya-karyaku’. Karakter arogan, suka merendahkan orang lain, dan selalu ingin mendominasi perlahan-lahan luntur sejak Al Ghazali pulang dari pengembaraannya di Damaskus pada tahun 490 H. Kehidupan sufistik telah mengubah perangai Al Ghazali yang dulunya terkenal selalu ingin dominan di antara yang lain, menjadi pribadi yang rendah hati, sopan, penyabar, dan lemah lembut.
Pada masa ini saat usianya telah mencapai 42 tahun, Al Ghazali telah matang baik secara intelektual maupun emosional. Perubahan karakternya ini terlihat langsung dari karya-karya Al Ghazali sendiri. Misalnya, dalam kitab Ihya Ulum al-Din yang ditulis pada tahun 488-490, ia menjelaskan tentang etika menuntut ilmu.
Menurutnya, salah satu etika dalam belajar adalah tidak takabur dan mendominasi guru. Betapapun murid memiliki karunia kecerdasan, cepat memahami pelajaran, dan bagus dalam penalaran, tetap harus sabar dan tawadhu di hadapan gurunya. Ibarat seorang pasien terhadap dokter, murid tidak boleh mendominasi guru.
“Kata Al Ghazali, murid itu harus seperti orang sakit di hadapan gurunya yang seorang dokter,” ucap ujar alumni Arizona State University ini.
Hits: 113