Refleksi
Oleh : Haedar Nashir
Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta menganugerahi gelar Doktor Honoris Causa (DR HC) kepada Drs Muhammad Habib Chirzin di bidang sosiologi perdamaian. Promovendus menyampaikan pidato penganugerahan dengan tema menarik, “Wacana Baru Perdamaian dan Perlunya Mengarusutamakan Keamanan Manusia”.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah periode 1985-1990 tersebut layak memperoleh penghargaan Doktor HC karena kiprahnya yang gigih dalam menyuarakan dan terlibat dalam program-program perdamaian di ranah nasional dan global sejak era 1980-an. Radius pergaulannya dengan tokoh-tokoh dan aktivis perdamaian sangat luas dalam rentang waktu lebih empat dasawarsa.
Saya mengenal Mas Habib selain di Muhammadiyah juga sewaktu aktif di Dhwarawati Cultural Institute (CDI) di Yogyakarta. Saat itu beliau bersama Mas Dawam Rahardjo dan Mas Adi Sasono menjadi mentor di Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak dalam pembinaan pedagang kaki lima, koperasi, dan komunitas marjinal. Kala itu kami masih mahasiswa, pada setiap sabtu malam sering main ke kediamannya di Jalan Wijilan sebelah timur Alun-alun Utara, untuk berguru dan membaca buku-buku terbaru.
Ketika dunia makin kompleks dan ancaman terhadap perdamaian selalu hadir di panggung kehidupan, penganugerahan Doktor HC oleh UIN Yogyajarta tersebut sangatlah tepat. Beberapa waktu ke depan akan ada lagi penganugerahan Doktor Honoris Causa untuk tiga tokoh dari Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dan Vatikan dalam bidang yang sama, yakni perdamaian.
Wacana Baru
Isu perdamaian makin nyaring digelorakan di ranah global hingga nasional dan lokal pasca perang dingin dan runtuhnya tembok Berlin 1989. Perang Dunia Pertama dan Perang Dunia Kedua lebih dari cukup untuk mengakhiri segala bentuk perang yang menjadi tragedi kemanusiaan era modern yang semestinya menghormati hak-hak dasar manusia untuk hidup dalam jaminan keamanan dan keselamatan yang tinggi.
Dunia modern yang bercorak antroposens semestinya menjadi arena paling nyaman dan leluasa untuk setiap anak manusia terjamin keamanannya lahir dan batin, individu dan kolektif, serta segala bentuk keselamatan dirinya. Kenyataannya invasi dan perang terus berlangsung di sejumlah kawasan meski tidak masif seperti Perang Dunia. Invasi sepihak AS dan sekutu ke Iraq telah membuat negeri besar di kawasan Teluk itu porakporanda sampai kini. Agresi Israel ke bumi Palestina sudah berlangsung 75 tahun tanpa mampu dicegah oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) dan pihak manapun yang menggelorakan damai. Terakhir, perang Russia terhadap Ukraina pun tidak dapat distop hingga kini.
DR (HC) Habib Chirzin mengedepankan wacana baru tentang perdamian. Di masa lalu perdamaian (peace) diposisikan sebagai antitesis dari perang (war), sehingga lahir adagium, si vis pacem para bellum, bila kamu mendambakan perdamaian, bersiap-siaplah menghadapi perang. Kini, dengan wacana baru, perdamaian bukan hanya lawan dari perang, tetapi menghadapi ketidakdamaian (peacelessness) dalam makna yang lebih luas. Sehingga lahir adagaium lain, si vis pacem para pacem, jika ingin perdamaian maka siaplah untuk damai.
Ketidakdamaian menurut Habib Chirzin ialah kondisi kehidupan masyarakat yang menghalangi proses aktualisasi diri, realisasi diri, dan pembebasan diri insani secara penuh berupa kemiskinan, ketidakadilan sosial, perusakan lingkungan hidup, pemerosotan nilai-nilai kemanusiaan, pelanggaran hak asasi; tindakan kekerasan kultural, struktural, dan teknis; serta tidak berfungsinya lembaga-lembaga sosial politik sebagaimana mestinya.
Aspek lain dari isu perdamaian yang dibahas ialah tentang keamanan manusia (human safety) dan indeks kebahagiaan (happiness index) sebagai bagian penting dari usaha mengarusutamakan perdamaian. Selama ini keamanan selalu dikaitkan dengan negara, yaitu keamanan dan kedaulatan suatu negara-bangsa dari ancaman asing. Keamanan tidaklah berhenti di situ, semestinya terkait pula dengan kondisi keamanan manusia yang menjadi warganegara. Keamanan manusia dalam wacana baru harus diletakkan sama penting dengan keamanan negara.
Ujian keamanan yang sebenarnya ialah dalam kehidupan orang perorang. Apakah orang mampu menjalani kehidupan tanpa rasa takut dan ancaman konstant terhadap kelangsungan hidup dan kesejahteraannya. Keamanan dalam bentuk pengendalian penyakit, krisis keuangan, buta huruf, dan gangguan yang tak terduga lainnya dalam lingkungan sosial-ekonomi yang mengancam kualitas hidup masyarakat. Termasuk keamanan manusia dari penyakit sebagaimana pandemi Covid-19 yang telah menewaskan 6,533,644 orang di tingkat dunia dan 157,948 di Indonesia.
Terakahir, perdamaian dan keamanan manusia terkait pula dengan derajat kebahagiaan hidup manusia. Konsep Gross National Product (GNP) yang selama ini menjadi primadona pembangunan ekonomi harus disertai dengan Gross National Happpiness (GNH). Sebutlah tentang pemenuhan kesejahteraan yang terkait dengan hidup kemasyarakatan, kebudayaan, tata kelola yang baik, ilmu pengetahuan, kesehatan, spiritualitas, psikologis, pemanfaatan waktu yang seimbang, dan keselarasan hidup dengan lingkungan. Lebih khusus perdamaian dan keamanan manusia meniscayakan etika global dalam kehidupan umat manusia semesta.
Paradoks Kehidupan
Bagaimana mewujudkan perdamaian multidimensi dalam seluruh struktur dan lingkungan kehidupan manusia saat ini dan ke depan? Bagaimana kehidupan manusia dan masyarakat di ranah lokal, nasional, regional, dan global agar dapat hidup damai, aman, dan bahagia tanpa perang, kekerasan, ketakutan, dan segala ancaman nyata dari lingkungannya? Ketika negara menuntut keamanan dirinya yang harus dijaga oleh seluruh warganegara maka apakah negara mampu menunaikan kewajiban konstitusionalnya untuk memberika rasa aman, damai, dan bahagia bagi warganya? Sederet pertanyaan di bumi nyata mesti dijawab bersama untuk terwujudnya dunia damai multidimensi dalam kehidupan umat manusia saat ini.
Dunia damai sering dihadapkan pada paradoks atau ironi di dalam diri dunia hidup manusia yang sering memproduksi hal sebaliknya yang menyebabkan rusaknya perdamaian. Ketika manusia sebagai makhluk Tuhan memiliki hak dasar untuk hidup aman, kemudian membentuk negara agar ada sistem yang melindungi, ternyata negara merampas rasa aman manusia itu. Warganegara menjadi subordinat di hadapan negara. Apalagi negara, sebagaimana disebutkan Weber, menjelma menjadi sistem kekuasaan yang absolut. Meski sejak John Locke, Jacques Rousseau, Voltaire, hingga Montesqueu berusaha membatasi kebasolutan negara, pada praktiknya negara sering merampas hak-hak dasar manusia untuk hidup aman, damai, dan bahagia.
Emanuel Kant yakin bahwa perdamaian dapat berlangsung terus menerus serta hukum alam akan menciptakan harmoni dan kerjasama antar manusia dengan akal budinya. Kant juga yakin akan kesempurnaan sifat baik manusia sehingga perang hanyalah perbuatan yang bersifat rekayasa. Namun kenyataannya atasnama apapun perang selalu terjadi sepanjang sejarah, serta aktor utamanya manusia yang berakal budi itu. Di mana akal murni yang disuarakan oleh tokoh pencerahan asal Jerman itu, ketika manusia dengan segala ideologi, alam pikiran, dan kepentingannya akhirnya memproduksi perang dan segala bentuk kekerasan. Agama tidak jarang menjadi alat pembenar terjadinya perang, konflik, kekerasan, dan permusuhan meski dasar ajaran agama itu mengutamakan damai.
Dunia damai juga akan berhadapan dengan ideologi, alam pikiran, paradigma, dan pandangan keilmuan yang memproduksi pertentangan ala Darwinian dalam kontestasi perjuangan hidup yang muaranya saling menegasikan dan melenyapkan. Laki-laki dan perempuan saling dipertentangkan baik di ranah domestik maupun publik sehingga yang tumbuh ialah kompetisi saling ingin menang, mengalahkan, dan menghegemoni. Kedua makhluk Tuhan yang diciptakann “ajwaj” (berpasangan) yang semestinya hidup saling menyatu, harmonis, dan memerlukan berubah menjadi saling bersaing, khawatir, curiga, dan bertentangan sehingga hilang rasa aman, damai, dan bahagia. Berkeluarga pun menjadi hilang damai demi perjuangan relasi kuasa.
Perubahan iklim dengan segala dampak buruknya, konflik politik, kesenjangan ekonomi, dan berbagai ketidakadilan dalam ekosistem kehidupan menimbulkan masalah-masalah kemanusiaan yang berat. Kehidupan era revolusi digital yang menurut Harari melahirkan kedigdayaan Homo Deus mencerabut eksistensi Homo Sapiens untuk hidup harmoni saling memerlukan. Praktik politik otoritarian di berbagai belahan dunia menciptakan ketakutan dan tekanan psikologis yang berat. Apalagi perang dan agresi masih terjadi di abad posmodern yang semestnya menjunjungtinggi martabat kemanusiaan. Sementara forum-forum perdamaian dunia tidak berdaya menghadapi segala ironi, kekerasan, dan agresi yang sistemik itu kecuali menjadi kemewahan global dan kisah sukses para penyelenggaranya seolah damai terwujud di bumi nyata. Paradoks kehidupan di era antroposen yang rumit dan sarat kontraksi itu pada akhirnya menyebabkan hilangnya dunia damai!
Hits: 126