MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA—Mudik saat jelang perayaan Idul Fitri merupakan peristiwa multimakna. Jika puasa dimaknai sebagai laboratorium spiritual agar manusia kembali suci, maka mudik adalah jembatan fisik menuju kesucian tersebut. Karena bersifat fisik, maka atribusi kultural sangat melekat pada fenomena tersebut.
Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir mengatakan bahwa mudik dalam konteks budaya maupun agama memang sangat baik. Dalam situasi normal, mudik menjadi medium penguat ikatan-ikatan persaudaraan. Akan tetapi, di masa pandemi mudik tidak bisa semata-mata dijabarkan secara sederhana sebagai sebuah tekstur halus dari hubungan antara agama dan budaya.
“Kondisi Covid-19 masih juga belum reda, bahkan di negeri tetangga Malaysia terjadi peningkatan. Di India muncul gelombang kedua. Dari beberapa informasi di media di Indonesia terdapat virus varian baru. Maka kondisi pandemi Covid-19 tetap harus sikapi dengan seksama,” tutur Haedar pada Jumat (07/05).
Haedar tak pernah bosan mengingatkan untuk mematuhi protokol kesehatan dan tidak melakukan aktivitas kolosal di mana pun kita berada. Termasuk mengurungkan niat untuk mudik ke kampung halaman, sebab Haedar khawatir di antara triliunan sel dalam diri pemudik turut serta membawa virus-virus tak kasat mata lalu menularkan penyakit ke anggota keluarganya.
“Larangan mudik dari pemerintah demi kemaslahatan umum. Bukan melarang mudik sebagai nilai luhur dan tradisi baik. Tetapi situasi pandemi, maka larangan ini bertujuan mencegah darurat dan terciptanya kemasalahatan dalam usaha kita bersama mengatasi Covid-19,” ungkap Guru Besar Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ini.
Secara agama, larangan mudik dan berkerumun di masa pandemi sesungguhnya sejalan dengan kaidah fikih dar’ul mafasid muqaddamun ala jalbil mashalih (menghilangkan kemudlaratan lebih diutamakan daripada mendatangkan kemaslahatan). Mudik memang mendatangkan kemasalahatan, namun tidak mudik justru sangat berpotensi menghilangkan kemudlaratan.
“Agama memberi jalan kemudahan dan tidak ingin ada kesulitan. Bahkan agama melarang kita menjatuhkan diri pada hal-hal yang merugikan diri, sesama, dan lingkungan. Dengan demikian, masyarakat diminta tetap disiplin protokol kesehatan,” Haedar menghimbau.
Tidak mudik bukan berarti memutus tali silaturahmi. Haedar mengatakan bahwa silaturahmi tetap bisa berjalan meski tak ada pertemuan fisik. Perjumpaan secara virtual yang berlangsung selama beberapa menit setidaknya cukup untuk menggantikan silaturahmi langsung yang sulit dilakukan selama masa pandemi.
“Ambil hikmahnya. Kita masih bisa berkomunikasi meski tidak mudik. Lewat telpon atau dengan video call, atau bagi yang belum bisa atau tidak memungkinkan bisa saling mendoakan satu sama lain dan Insya Allah anggota keluarga tetap terjalin silaturahmi dan rasa bersaudara,” kata Haedar.