MUHAMMADIYAH.OR.ID, MAKASSAR—Dalam sesi tanya jawab acara Sosialisasi dan Kunjungan Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah ada seorang audiens yang bertanya. Ia menanyakan posisi pandangan para ulama, terutama mujtahid klasik, dalam istinbath hukum yang dilakukan Muhammadiyah. Dirinya meresa heran mengapa putusan yang dikeluarkan Muhammadiyah terkesan simplistik hanya dengan mengutip al-Quran dan al-Hadis.
Syamsul Anwar menjawab bahwa Putusan Muhammadiyah merupakan hasil dari sejumlah diskusi yang dilakukan para Ulama di Majelis Tarjih. Dalam diskusi tersebut mengeluarkan sejumlah argumen bukan hanya berdasarkan al-Quran dan al-Hadis, juga menukil pandangan para Ulama klasik. Memang idealnya, kata Syamsul, di dalam tubuh narasi Putusan Muhammadiyah tersebut seharusnya menyapa dan mengkaji pandangan Ulama terdahulu sehingga tidak menimbulkan kesan simplistik.
“Secara ideal, pendapat-pendapat para ulama itu harus disapa dan dikaji terlebih dahulu. Jadi, apa pendapat para ulama, apa dalilnya, lalu baru dikaji dengan Manhaj Tarjih, yaitu dengan ukuran-ukuran wawasan atau orientasi, sumber, metode, dan ada pendekatan,” terang Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah ini pada Jumat (07/5).
Jadi, Syamsul menegaskan bahwa pandangan Ulama-ulama terdahulu merupakan referensi dan bukan keputusan final. Tidak tepat pula bila menganggap Muhammadiyah hanya mengutip al-Quran dan al-Sunah kemudian melupakan pendapat para Ulama. Dalam diskusi membahas suatu persoalan, tidak sedikit jajaran divisi fatwa di Majelis Tarjih menggunakan pendapat para mujtahid klasik untuk memperkuat argumennya.
Alasan lain mengapa Muhammadiyah jarang menuliskan pendapat Ulama dalam tubuh narasi Putusan Persyarikatan lantaran banyaknya persoalan kontemporer yang samasekali belum disentuh dalam khazanah fikih klasik. Menurut Syamsul, kekosongan pandangan hukum ini seringkali diisi oleh ijtihad Majelis Tarjih. Misalnya tentang fatwa keharaman menghisap asap rokok dan vaksinasi saat puasa di bulan Ramadan.
Syamsul juga mengingatkan bahwa Muhammadiyah memiliki metode tersendiri dalam penetapan putusan, yaitu metode asumsi integralistik dan metode asumsi hirarkis. Dengan kata lain, dalam keputusan Muhammadiyah selalu mengandaikan norma-norma berjenjang sebagai bangunan fikihnya (metode asumsi hirarkis), dan memasukkan berbagai dalil yang berkaitan dengan suatu persoalan sebagai basis legitimasinya (metode asumsi integralistik).
“Metode fatwa Muhammadiyah itu ada jenjang-jenjang nilai, ada nilai dasarnya, nilai asasnya, baru kemudian membahas hukumnya apa. Jadi, pandangan ulama itu bisa saja dipilih apabila dalilnya kuat tetapi bisa saja tidak diambil. Yang penting sebelum berijtihad kita tahu dulu bagaimana pandangan ulama terdahulu,” tutur Guru Besar Hukum Islam Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga ini.