MUHAMMADIYAH.OR.ID, JAKARTA – Sumatera Barat punya julukan sebagai “ibukota kedua” Muhammadiyah. Buya Hamka bahkan mengatakan bahwa “Muhammadiyah itu lahir di Yogyakarta, tapi dibesarkan di Sumatera Barat,” demikian catat Floriberta Aning dalam kumpulan 100 Tokoh Yang Mengubah Indonesia (2005).
Kurang dari dua dekade, pengikut Muhammadiyah di Yogyakarta dan Sumatera Barat cukup berimbang, bahkan berkembang pesat. Terutama setelah Muhammadiyah berhasil mendirikan Cabang resmi pertamanya di Sumatera Barat pada 1926.
Berdasarkan catatan Rosihan Anwar, pada tahun 1925 jumlah anggota Muhammadiyah adalah 4 ribu orang. Berjarak lima tahun saja, pada 1930 jumlah anggota meningkat menjadi 24 ribu orang sehingga reformasi pikiran Islam Muhammadiyah terpancar dari Yogyakarta dan Minangkabau.
Sebagai ‘ibukota kedua’, Sumatera Barat memiliki corak yang berbeda dengan Yogyakarta. Hal ini mempengaruhi dakwah Persyarikatan Muhammadiyah di masa-masa paling awal. Terutama saat berhubungan dengan pemerintah kolonial Hindia-Belanda.
Ahmad Syafii Maarif, Ketua PP Muhammadiyah periode 1998-2005 sekaligus sejarawan, mengatakan masyarakat Yogyakarta lebih mengutamakan kompromi dan jalan kultural, sementara masyarakat Minangkabau mengutamakan militanisme dan jalur politik. Perbedaan inilah yang membuat Muhammadiyah di Minangkabau disalahpahami sehingga memperoleh fitnah dari Gubernur Sumatara Barat, G. F. E. Gonggrijp.
Awal Mula Fitnah di Muktamar ke-19 Muhammadiyah di Bukittinggi
Situasi politik di Sumatera Barat pada tahun 1930-an penuh ketegangan. Terutama pasca gagalnya pemberontakan Komunis di daerah Silungkang tahun 1927 yang menyebabkan pemerintah Hindia-Belanda bersikap lebih represif.
Akibatnya, banyak kelompok nasionalis yang tiba-tiba dituduh ‘kiri’ atau Komunis oleh pemerintah sehingga banyak dari mereka yang dibuang ke ke Boven Digoel dan Niew Guinea (Papua). Termasuk pemimpin Persatuan Muslimin Indonesia (PERMI), Muchtar Loethfi yang diasingkan ke Boven Digul. Kepemimpinan Muchtar segera diambil alih aktivis perempuan, Rasuna Said.
Peristiwa ini cukup memantik perhatian masyarakat Minangkabau, sehingga ketika Muhammadiyah menyelenggarakan Kongres (Muktamar ke-19) di Fort de Kock alias Bukittinggi tahun 1930, salah seorang anggota Muhammadiyah bernama Saalah Soetan Mangkoeto menyalahgunakan jabatan dan fungsi Kongres itu untuk berpidato secara keras yang isinya menumbuhkan perlawanan terhadap pemerintah.
Gubernur Gonggrijp dan Groeneveld Sepakat Memfitnah Muhammadiyah
Menyaksikan kejadian ini, Gubernur Sumatera Barat G. F. E. Gonggrijp terhasut. Saat bertandang ke Jawa menjumpai Gubernur Jenderal di Istananya, Gonggrijp mengatakan bahwa Muhammadiyah telah kelihatan ‘belang’-nya bahwa organisasi Persyarikatan bukan sebuah perkumpulan agama, melainkan perkumpulan politik.
Gonggrijp juga melaporkan jika Muhammadiyah sama seperti perguruan Soematra Thawalib yang memberi tempat kepada para ekstrim kiri atau Komunis. Pustaka Panjimas dalam Kenang-kenangan 70 Tahun Buya Hamka (1983) bahkan menulis bahwa Gonggrijp menulis surat laporan resmi tertanggal 16 April 1930 dengan nomor surat 354/Rahasia (Mailrapport 431/30 Rahasia) kepada Gubernur Jenderal Andries Cornelis Dirk de Graeff bahwa Muhammadiyah tidak loyal dan anti Belanda.
Sebagai lampiran, Gonggrijp menyertakan laporan Asisten Residen Agam, Groeneveld tanggal 29 Maert 1930 yang berisi verslag (laporan) atas kejadian di Muktamar tersebut.
Korban Fitnah, Syeh Djambek Terhasut
Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil “Petite Histoire” Indonesia, Volume 1 (2004) menulis bahwa verslag Groeneveld menulis soal penyalahgunaan forum Kongres Muhammadiyah ke-19 di Bukittinggi. Gubernur Gonggrijp sampai mengusulkan agar status afdeling Muhammadiyah Sumatera sebagai cabang dari Muhammadiyah di Jawa dicabut.
Kurang puas memfitnah, Groeneveld bahkan memberi peringatan pada tokoh agama masyarakat Minangkabau, Syeh Djambek tentang misi tersembunyi Muhammadiyah sebagai gerakan politik.
Sehingga sekian hari berikutnya Syeh Djambek yang terhasut memutuskan kontak dengan seluruh pegiat Muhammadiyah. Rosihan Anwar juga menulis bahwa Syeh Djambek sampai hati ‘menjewer’ dua putranya yang duduk dalam pengurus Muhammadiyah.
Syeh Djambek selanjutnya mengatakan tidak pernah membiarkan namanya dikaitkan dengan Muhammadiyah. Tak cukup memfitnah Syeh Djambek, Groeneveld dalam verslag yang disertakan oleh Gonggrijp juga memfitnah Soetan Mansoer sebagai “propagandis Muhammadiyah yang dibayar dan riwayat hidupnya buruk luar biasa”.
Fitnah Tak Mempan, Laporan Gonggrijp dan Groeneveld Ditolak Gubernur Jenderal
Menariknya, fitnah dua orang pejabat pemerintah Hindia-Belanda kepada Muhammadiyah itu tidak diterima oleh Gubernur Jenderal Andries Cornelis Dirk de Graeff yang telah mengetahui seluk beluk organisasi Muhammadiyah.
Ahmad Syafii Maarif dalam Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah (2009) mencatat Kantor Urusan Pribumi (the Office for Native Affairs) dan Jaksa Agung Hindia-Belanda, R.J.M. Verheijen menolak laporan Gonggrijp.
Gonggrijp malah disarankan agar “should pay more anttention to improving relations between Muhammadiyah and the adat authorities“.
Menurut Syafii Maarif, sikap Jaksa Agung Verheijen mantap setelah mendapatkan surat dari Pengurus Besar (Pimpinan Pusat) Muhammadiyah kala itu untuk tidak memusuhi Muhammadiyah Sumatera Barat. Karena perkara ini, Gonggrijp dipindahkan tugas dari Sumatera Barat setahun kemudian.
Pemerintahan pusat Hindia Belanda di Batavia, tulis Syafii Maarif tidak ingin organisasi Muhammadiyah yang biasanya bergerak secara damai berubah menjadi radikal akibat laporan Gonggrijp.
Dengan kata lain, Muhammadiyah dikenal oleh pemerintah sebagai gerakan yang mengedepankan sifat-sifat terbuka, kooperatif dan damai, kendati tokoh-tokohnya di luar forum organisasi tetap melakukan perjuangan politik secara tegas dan elegan menentang kolonialisme.
Muhammadiyah Sumatera Barat Akhirnya Mengikuti Corak Yogyakarta
Fitnah yang terjadi memberi hikmah kepada Muhammadiyah Sumatera Barat untuk bersikap lebih lunak, kompromis, dan menempuh jalur sejatinya yaitu dakwah kultural sebagaimana di pusat pergerakan Muhammadiyah, Yogyakarta. Terlebih setelah PB Muhammadiyah menegur langsung Cabang Sumatera Barat.
Pilihan meninggalkan corak politik ini kata Syafii Maarif pada akhirnya makin membuat proses dakwah Muhammadiyah semakin mendalam pada masyarakat Minangkabau.
Penulis: Afandi
Editor: Fauzan AS
Hits: 293