MUHAMMADIYAH.ID, JAKARTA – Usianya tak lagi muda. Kini menginjak 84 tahun. Berjalan pun tak bisa cepat. Dari jauh, wajahnya sekilas mirip pahlawan nasional Kiai Agus Salim. Jenggot putih, peci hitam dan kacamata tebal menambah kewibawaan dari sosoknya yang sudah bersahaja, ramah dan berwibawa.
Aura persahabatan nampak dari caranya bertutur kata dan menyapa. Meski telah senja, kiai Muhammadiyah itu tak hanya memperhatikan urusan kaum muslimin dan generasi muda muslim di Maumere, Nusa Tenggara Timur.
Dirinya tetap rutin mengunjungi gereja dan tokoh agama Katolik dan Kristiani yang ada di Maumere beserta pulau-pulau kecil di sekitarnya untuk terus memupuk semangat persaudaraan dan semangat kemanusiaan yang melintasi sekat-sekat identitas.
Sosok Pengayom Antar Umat Beragama di Tanah Sikka
Namanya Abdul Rasyid Wahab. Masyarakat Maumere yang 91 persen beragama Katolik mengenalnya dengan panggilan sayang seorang anak kepada orangtuanya, yaitu ‘abah’.
Abah Rasyid adalah salah satu orang yang dituakan di Kabupaten Sikka.
Menurut David Krisna Alka dalam dokumen Ma’arif Institute (2018), masyarakat Sikka masih menganggap Abah Rasyid sebagai Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) dan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Sikka meski tak lagi menjabat.
Abah Rasyid Mediator Konflik antar Agama
Ujian paling genting dilalui Abah Rasyid pada peristiwa Hosti (1995) dan Eksekusi Tibo cs (2002, 2006) yang mengarah ke konflik horisontal antar agama.
Setelah berkeliling ke berbagai tempat dan melakukan lobi dengan banyak pihak, Abah Rasyid berhasil menenangkan kaum muslimin Maumere untuk tenang dan tidak terhasut oleh fitnah yang terjadi.
“Ini SARA. Saya keliling dan beri semangat umat Muslim untuk tetap bertahan di sini. Saya hanya ikut saja mereka, dan mengajak supaya jangan dendam. Ada yang mengatakan ini suatu ujian dan cobaan, mungkin kami punya kesalahan sehingga terjadi musibah ini,” kata Abah Rasyid sebagaimana dikutip dari David Krisna Alka.
Merekat Persaudaraan antara Islam dan Katholik
Di tanah Sikka, umat Katolik memandang para uskup sebagai tokoh pemilik otoritas yang layak ditaati. Posisi ini diperhatikan oleh Abah Rasyid untuk memberi contoh mempererat persaudaraan antar iman di akar rumput.
Pastoran St. Yoseph Moumere Flores adalah salah satu contoh yang kerap dikunjungi Abah Rasyid. Di luar keuskupan, Abah Rasyid selalu berusaha hadir di momen sosial seperti Natal, pernikahan non-muslim, hingga acara kebudayaan guna mempererat persaudaraan antara warga Sikka.
“Jadi silaturahmi, menjalin hubungan yang erat, kasih sayang, untuk merajut temali hati akan kita, untuk mewujudkan ukhuwah, persaudaraan. Jadi proses untuk suatu silaturahmi yang sempurna, tidak hanya sampai taaruf saya. Maka musti (tahu) dari mana, siapa, bagaimana, itu kan mesti (lewat) perkenalan,” kata Abah Rasyid dalam film documenter Unfinished Indonesia karya Watchdoc Documentary (2021).
Membesarkan Muhammadiyah di Sikka
Ahmad Faizin Karimi (2021) mencatat bahwa Muhammadiyah telah masuk di Nusa Tenggara Timur jauh sebelum era kemerdekaan. Meskipun Muhammadiyah telah sampai di bumi Sikka, Muhammadiyah tanah Sikka tak sebesar ketika telah dibangun oleh Abah Rasyid.
Abah Rasyid mulai aktif dengan bergabung di Pemuda Muhammadiyah Sikka pada tahun 1982. Setelah itu, tahun-tahun berikutnya beliau mulai terlibat menjadi pengurus PCM, wakil ketua PDM, hingga menjadi ketua MUI Kabupaten Sikka.
David Krisna Alka menulis bahwa aktifnya Abah Rasyid melebarkan sayap dakwah Muhammadiyah. Kini, kabupaten Sikka memiliki sedikitnya lima PCM yang masing-masing memiliki amal usaha.
Bersama tokoh lokal Muhammadiyah lainnya, Abah Rasyid kini berhasil mendirikan berbagai Amal Usaha seperti panti asuhan, sekolah (2 SMP, 4 MTS, 1 SMA, dan 1 MA), hingga perguruan tinggi (IKIP Muhammadiyah Maumere).
Amal Usaha Muhammadiyah menjadi alat perekat hubungan antar umat beragama. Mengacu pada data tahun 2013, hampir setiap lembaga pendidikan tersebut memiliki 70 persen siswa beragama Katolik dan 50 persen tenaga pengajar yang beragama sama.
Menerima Berbagai Penghargaan
Atas keteladanan dan keteguhannya merekat persaudaraan, Abah Rasyid menerima penghargaan Ma’arif Award 2018 dari Maarif Institute for Culture and Humanity. Apresiasi itu menyusul penghargaan Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC) yang diperolehnya pada tahun 2014.
Berbeda dengan Ma’arif Award, MDMC Award diperoleh Abah Rasyid atas keteladanannya mendampingi ribuan pengungsi di Pulau Palu’e ketika Gunung Rokatenda, Flores yang berjarak 8 jam perjalanan laut dari Maumere meletus pada tahun 2013.
Abah Rasyid menjadi tokoh kunci yang membuka jalan bagi MDMC menjalankan misi kemanusiaan Muhammadiyah di Rokatenda, termasuk menemani dan membimbing ratusan penyintas tanpa membedakan agama dan suku bangsa.
Banyak hal lain dari keteladanan Abah Rasyid yang layak dituliskan namun tidak mungkin disematkan dalam ruang yang terbatas ini. Keteladanan Abah Rasyid di atas, setidaknya adalah wajah sejati kader-kader Muhammadiyah yang umum dan tersebar di berbagai tempat. Bekerja secara sunyi, dan membiarkan buah amal yang berbicara sendiri.
Naskah: Afandi
Editor: Fauzan AS