MUHAMMADIYAH.OR.ID, JAKARTA — Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof. Dr. KH Haedar Nashir, M.Si secara resmi melaunching buku berjudul Islam Syariat: Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia, Jumat (28/10) di Kampus Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka (Uhamka).
Buku yang sebelumnya pernah diterbitkan oleh Penerbit Mizan itu, kini diterbitkan kembali oleh Penerbit Suara Muhammadiyah. Launching secara simbolis ditandai dengan penyerahan buku dari Direktur Suara Muhammadiyah, Deni Asyari, MA kepada Haedar Nashir.
Menurut Haedar, buku tersebut merupakan hasil disertasinya selama menempuh pendidikan di Universitas Gajah Mada Yogyakarta tahun 2006. Haedar yang saat itu juga Ketua PP Muhammadiyah periode Muktamar ke-45 di Malang, melakukan penelitian di wilayah Aceh, Sumatera Barat, Jawa Barat, dan Sulawesi Selatan.
“Memilih kuliah tapi juga mengurus Persyarikatan tidak mudah waktu itu. (Kuliah Doktoral) Diselesaikan 3 tahun 6 bulan dan cumlaude. Saya cuma ingin menjadi bagian dari semangat adik-adik di angkatan muda saat itu bahwa menjadi bagian dari pimpinan Persyarikatan harus tetap tidak boleh padam untuk studi dan kalau studi jangan bangga kalau lama dengan alasan pendalaman. Maka saya contohkan untuk studi cepat,” jelas Haedar.
Buku Islam Syariat, Kritik Terhadap Gerakan Islam yang Merusak Marwah Islam
Terkait buku karyanya tersebut, Haedar menyebut bahwa buku itu merekam fenomena pasca reformasi di mana semua gerakan dari komunisme, sekularisme, liberalisme, hingga Islamisme berlomba-lomba merebut ruang publik.“Buku ini atau disertasi ini mengkaji berangkat dari realita setelah kita reformasi, itu banyak gerakan-gerakan, bukan hanya gerakan keagamaan—termasuk di kalangan Islam—bahkan gerakan sosial lainnya, yang bertumbuh begitu rupa bukan hanya di permukaan, tapi yang underground (yang dari bawah permukaan) yang di masa orde baru tiarap. Begitu reformasi, semuanya seperti banjir demokrasi,” ucapnya.
Gerakan Islam bari yang lahir pada masa itu disebutkan Haedar memiliki ciri berbeda dengan kelompok Islam Indonesia seperti NU, Muhammadiyah, Persis, Al-Irsyad, dan lain sebagainya karena bersifat politik, sangat militan dan ekstrim. Bahkan lebih keras dari gerakan Revivalisme Islam di masa lalu yang membawa narasi pemurnian Islam.
“Saya tentu tertarik ke situ, mengkaji gerakan-gerakan Islam yang begitu militan ingin kembali menghadirkan Islam yang menurut mereka itu kaffah. Tetapi coraknya berbeda dengan arus utama yang selama ini sudah hidup, Muhammadiyah, NU, Al Irsyad dan seterusnya,” ujarnya.
Menurut Haedar, gerakan Islam tersebut begitu militannya dan cenderung rigid (kaku) dan cenderung pada kekerasan. Aspirasi mereka adalah mendirikan syariat di Indonesia baik lewat narasi Khilafah maupun narasi Piagam Jakarta.
“Nah Gerakan-gerakan ini yang kemudian kami di Sosiologi harus mencari angle dan istilah yang baru yang itu punya kategorisasi. Akhirnya, saya menemukan apa yang disebut dengan Islam Syariat, yakni sekelompok Islam yang ingin menegakkan syariat Islam tapi dengan karakter militan, keras, kaku dan ekslusif atau monolitik,” terangnya.
Kecenderungan kelompok Islam baru yang membawa aspirasi syariat ini kata Haedar sering berhadapan dengan negara dan mempertentangkan Pancasila yang oleh para ulama telah dianggap sejalan dengan Islam. Tak hanya di Indonesia, gerakan Islam Syariat ini ternyata dianggap bermasalah sehingga ditolak di beberapa negara Timur Tengah seperti Arab Saudi dan Mesir.“Jadi jangankan di negara yang seperti Indonesia yang memilih Pancasila sebagai dasar negara, yang sebenarnya Pancasila itu sejalan dengan Islam, di negara-negara (Timur Tengah) seperti itu juga bermasalah bahkan dianggap sebagai gerakan ilegal,” terang Haedar.
“Ini saya sebut sebagai Reproduksi Salafiyah Ideologis. Jadi ingin kembali ke Islam seperti masa salaf, tetapi bersifat ideologis yakni ke perjuangan politik. Sebenarnya tidak ada yang keliru untuk mendirikan negara Khilafah Islamiyah, yang keliru itu konteksnya dan pemahamannya. Pemahaman bahwa negara Islam itu dipandang sebagai format negara tunggal dalam Islam. Nah ini kesalahannya. Dan karena format negara tunggal, lalu menyalahkan yang memilih format lain,” tuturnya.
“Maka dari sinilah, kesimpulannya bahwa langkah ini sebenarnya reproduksi Salafiyah Ideologis ini lebih banyak masalahnya daripada maslahatnya,” kata Haedar yang merupakan guru besar ilmu Sosiologi itu.
“Kesimpulan kedua, jika pola ini yang dipakai untuk Islam Indonesia dan Islam dunia, maka dimungkinkan akan terjadi penyempitan ruang Islam di berbagai negara dan bangsa di mana Islam itu bukan bahkan meluas, tapi Islam makin menyempit karena makin rigid, makin sempit, makin monolitik yang tadi di tubuh umat Islam sendiri menimbulkan masalah, apalagi di luar Islam.
Jadi maka diasumsikan di sini bahwa ketika ada banyak orang yang merasa tidak nyaman dengan pandangan Islam yang seperti ini maka ketika ada pemicu sosiologis yang lain, jangan salahkan ketika mereka memilih agama lain yang merasa lebih nyaman,” sebutnya.
Diberi kata Pengantar oleh almarhum Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif, M.A, buku ini juga mendapat pujian dari Menko polhukam RI/guru besar hukum dan tata negara Prof. Dr. Moh. Mahfud MD.“Buku ini sulit disanggah. Referensinya sangat kaya dan metodologinya pun sangat ketat,” tulis Mahfud.
Peluncuran buku sendiri juga ditandai dengan pembagian buku kepada Ketua PWM DKI, PWM Jabar, PWM Jambi dan PWM Lampung. (afn)