Oleh: Fauzan Anwar Sandiah
Hubungan Muhammadiyah dan Jepang sudah berlangsung sejak dekade 1930an. Aktivis Muhammadiyah jadi kepercayaan umat Islam di nusantara membawa misi diplomasi perdagangan, kebudayaan dan ilmu pengetahuan ke Jepang. Semua tercatat dalam buku Melawat ke Japan oleh H.M. Farid Ma’roef.
H.M. Farid Ma’roef bagi Muhammadiyah adalah figur pemimpin, arsiparis tulen, dan diplomat handal. Jangan lupa, H.M. Farid Ma’roef adalah guru di sekolah Mu’allimin Muhammadiyah.
H.M. Farid Ma’roef terpilih menjadi pengurus Majlis Tanwir Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada Kongres Muhammadiyah ke-24 tahun 1935. Kemudian menjadi wakil ketua II pada Muktamar ke-35 tahun 1962 di Jakarta dan wakil ketua I pada Muktamar ke-36 tahun 1965.
H.M. Farid Ma’roef hidup dan bertumbuh sebagai seorang aktivis Muhammadiyah pada era jelang penetrasi akhir kolonial Belanda, pendudukan Jepang dan masa revolusi.
Farid Ma’roef adalah sosok sentral dalam dokumentasi perkembangan Muhammadiyah di Indoneia. Kalau bukan karena Farid Ma’roef, jejak perkembangan Muhammadiyah antara 1920an hingga 1940an tak akan terdokumentasi dengan lebih lengkap.
Farid Ma’roef telah menjadi simbol seorang kosmopolitan bagi aktivis Muhammadiyah di generasinya dan generasi saat ini. Ia menguasai bahasa Belanda, Arab, Inggris dan Jepang untuk percakapan harian dengan baik. Keterampilan berbahasa hasil belajar otodidak. Ia hanya mengandalkan buku, kamus dwi bahasa dan daya serap super cepat atas suatu bahasa.
Buku Melawat ke Japan
Buku Melawat ke Japan adalah catatan perjalanan pribadi H.M. Farid Maroef yang diterbitkan oleh H.B. Moehammdijah Madjlis Taman Poestaka Djokjakarta. H.M. Farid Ma’roef adalah satu dari lima orang utusan Madjlis Islam A’laa Indonesia (MIAI) untuk berangkat ke Jepang.
Tidak ada keterangan buku Melawat ke Japan terbit pada tahun berapa. Patut diduga buku ini terbit tidak lama setelah perhelatan The Islamic Exhibition kelar. Kalau merujuk pada bagian Penoetoep, maka buku ini terbit di Jogjakarta tanggal 25 Februari tahun 1940.
Buku atau catatan ini menjadi sangat penting dalam tiga konteks. Pertama, buku ini merupakan arsip penting terkait hubungan antara Muhammadiyah atau kaum muslim dengan Jepang. Tidak banyak sumber sejarah primer yang tersedia untuk menunjukkan secara terperinci bentuk interaksi awal antara aktivis muslim dan Jepang. Buku atau catatan Farid Ma’roef menambal lubang besar sumber rujukan shahih yang tidak banyak tersedia.
Kedua, buku ini juga berisi catatan etnografis perkembangan ekonomi dan sosial di Jepang. Tidak banyak orang Indonesia yang mempelajari Jepang pada waktu itu. Selain H.M. Farid Ma’roef yang menulis buku ini, ada Mohammad Hatta misalnya yang mendapat undangan dari pemerintah Jepang untuk menulis tentang perkembangan negara itu pada November 1943.
Apakah buku ini termasuk literatur awal berbahasa Indonesia yang ditulis oleh orang Indonesia tentang Jepang? Tentu masih perlu data tambahan. Tapi bahwa Farid Ma’roef tidak sekedar mengikuti pameran dan acara kunjungan resmi, melainkan menulis dengan terperinci data statistik perkembangan industri, strategi perdagangan dan pembangunan infrastruktur pendidikan serta kebudayaan bahkan agama-agama di Jepang adalah sangat menarik.
Ketiga, buku ini adalah sumber konfirmasi penting terkait dengan keterlibatan kaum muslim tanah air dengan pergolakan politik internasional. Selain dengan negara-negara Asia Timur seperti Jepang juga dengan Timur Tengah. Pada bagian Pendahoeloan tercatat ada tiga nama tokoh Islam Indonesia yang ikut Kongres Umat Islam sedunia di Mekkah. Kongres itu adalah peristiwa dan tonggak penting pengarusutamaan kehidupan kaum muslim era modern.
Di luar tiga konteks penting itu, dalam buku Melawat ke Japan ada anekdot, tips berkunjung ke Jepang dan penjelasan budaya yang mengesankan.Farid misalnya menyarankan calon pengunjung untuk menguasai bahasa Jepang untuk percakapan sehari-hari. Ia menyarankan orang untuk membaca karangan A. Rose-Innes English-Japanese Conversation Dictionary serta buku Poentja Bahasa Djepang yang ditulis oleh T. Uji dan W.J.S. Poerwadarminta.
Juga ada cerita lucu. Pada hari selasa tanggal 14 November 1939, H.M. Farid Ma’roef dan delegasi lainnya dijemput utusan Perhimpoenan Islam Nippon. Para penjemput datang dengan membawa dua bendera. Satu bendera Jepang dan satunya “bendera Islam.” Masalahnya, menurut Farid, apa yang disebut “bendera Islam” itu sebetulnya adalah bendera Turki. Alhasil, salah bendera itu menimbulkan kejenakaan tersendiri.
Hits: 22