MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA — Penentuan secara tepat saat terbitnya fajar memiliki arti penting, Prof. Syamsul Anwar menyebut, terkait dengan waktu fajar setidaknya terkait dengan empat jenis ibadah.
Pertama, adalah pelaksanaan ibadah salat Subuh, hal ini merujuk kepada Al Qur’an Surat Al Isra’ ayat 78. Kemudian yang kedua untuk menentukan batas waktu salat malam beserta witirnya. Ketiga terkait dengan ibadah puasa, sebagaimana yang disampaikan oleh Allah dalam Surat Al Baqarah ayat 187.
“Dan yang terakhir terkait dengan waktu wukuf di Arafah, dalam hadis disebutkan haji itu adalah arafah. Barang siapa tidak dapat wukuf di arafah, maka hajinya tidak sah. Lalu batas waktu orang untuk wukuf di arafah sehingga haji nya sah,” ungkapnya dalam Pengajian PP Muhammadiyah pada (12/3).
Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah ini menjelaskan, waktu terakhir sekurangnya orang wukuf di arafah itu adalah sebelum fajar.
Empat ibadah tersebut mengindikasikan bahwa penentuan waktu fajar menjadi sangat penting.
Mengutip penjelasan dari Kitab Al Muntaqa karangan Al Baji, Prof Syamsul Anwar memaparkan bahwa, yang disebut dengan fajar itu ada dua. Pertama ada fajar kadzib yang pancarannya memanjang keatas, yang tidak ada kaitannya dengan hukum salat serta puasa. Dan yang kedua adalah shodiq, yang pancarannya melintang dan digunakan untuk menentukan hukum salat dan puasa.
Pembahasan mengenai penentuan secara tepat terbit fajar bukan hanya dilakukan di Indonesia, melainkan di berbagai Negara Islam di dunia juga telah banyak yang mengkajinya. Bahkan dilakukan sejak akhir abad yang lalu, meskipun sampai sekarang terus bergulir.
“Misalnya di Maroko itu sejumlah pemuda sengaja makan sesudah adzan resmi menurut jadwal yang tertera di dalam jadwal resmi sebagai protes bahwa jadwal resmi masih terlalu pagi,” ungkapnya.
Selain itu, di Mesir sejak tahun 1984, Institute Geofisika Mesir sudah melakukan penelitian sampai tahun 2017 diajuhkan satu usulan untuk perubahan jam terbit fajar, akan tetapi mufti Mesir belum berkenan.
Dalam keterangannya, Syamsul menyebut di Mesir saat ini masih mengacu pada 19,5° kedalam matahari di bawah ufuk.
“Dari berbagai kajian dan pendapat, kemudian Munas Tarjih memutuskan 18° itu. Bahan-bahan yang menjadi pertimbangan antara lain, hasil-hasil perhitungan para astronom muslim sepanjang sejarah,” tuturnya.