Bencana yang telah terjadi merupakan sebuah kepastian yang nyata. Dengan demikian, salah satu perkara dan persoalan yang terpenting adalah bagaimana kita mensikapi bencana yang telah terjadi tersebut. Peristiwa bencana itu sendiri bukanlah merupakan “persoalan”, karena memang sudah terjadi dan menimpa kita, apapun keadaan dan situasi kita. Oleh karena itu, persoalan yang sebenarnya adalah bagaimana kita menghadapi “persoalan” itu sendiri.
Untuk mensikapinya membutuhkan sebuah kesadaran yang utuh akan bencana dari pihak-pihak yang terkait bencana, yaitu individu, keluarga, masyarakat dan pemerintah.
Pihak-pihak ini harus memiliki sikap positif ketika bencana telah terjadi.
Meskipun demikian, di antara pihak-pihak yang ada, pemerintah adalah pihak yang paling bertanggungjawab dan mempunyai otoritas (kekuasaan) tertinggi dalam menyikapi bencana.
Karena pemerintahlah yang mengemban amanat rakyat dalam pengaturan urusan hidup yang berkaitan dengan publik dan karena pemerintah yang memiliki wewenang untuk menggunakan dan menyalurkan segenap potensi dan sumber daya yang diperlukan.
Pemerintah memiliki kekuasaan untuk menggerakkan potensi-potensi yang ada di seluruh wilayah pemerintahannya.
Sebagaimana dalam sebuah hadits mengenai tanggung jawab pemerintah,
Diriwayatkan dari Abdullah ibn Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda, “setiap orang adalah pemimpin, dan akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang pemimpin sekelompok manusia adalah yang bertanggungjawab atas mereka…” (Riwayat Bukhari).
Dalam hadits Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam yang lain juga disebutkan mengenai tanggungjawab pemimpin untuk melaksanakan segala kebutuhan rakyatnya.
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda, “ barangsiapa yang ditakdirkan oleh Allah Azza wa Jalla untuk menjadi pemimpin yang mengemban urusan kaum muslimin, lalu ia menutup diri (menghindar) dari kebutuhan, kekurangan, dan kefakiran rakyatnya, maka Allah akan menutup diri darinya di kala dia kekurangan, membutuhkan dan fakir (HR Abu Dawud dari Mu’awiyah).
Kemudian, masyarakat sebagai pihak yang juga mempunyai tanggungjawab juga memiliki kewajiban untuk ikut serta dalam penanganan bencana tersebut. Yang perlu menjadi perhatian adalah, bahwa bencana tidak hanya menimpa sekelompok orang saja, melainkan juga orang-orang disekitarnya. Bahkan meluas hingga wilayah yang cukup jauh. Oleh karena itu, penyikapan atau respon bencana merupakan tanggungjawab bersama dengan otoritas penuh dan manajerial (pengaturannya) pada pemerintah.
Allah berfirman,
وَتَعَاوَنُوا عَلَى البِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُوا عَلَى الإِثْمِ وَالعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ شَدِيْدُ العِقَابِ (أية 2 من سورة المائدة).
“…dan tolong-menolonglah kamu dalam mengerjakan kebaikan dan takwa, dan janganlah tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya” (QS. Al Maidah ayat 2).
Perwujudan dari jalinan relasi positif berupa tolong menolong itu adalah membangun kesadaran primordial, yaitu perasaan-perasaan yang dimiliki oleh seseorang yang sangat menjunjung tinggi ikatan sosial yang berupa nilai-nilai, norma-norma dan kebiasaan yang bersumber dari etnik, ras, tradisi dan kebudayaan yang dibawa sejak seseorang baru dilahirkan.
Kemudian, efek kewajiban dari semangat tolong-menolong tersebut adalah pemenuhan hak bantuan bagi korban bencana. Kesadaran untuk membantu dan memenuhi hak bantuan bagi korban bencana merupakan kesadaran sosial bagi manusia dan kesadaran iman, karena Allah sebagai rabb manusia memerintahkan untuk memberikan bantuan itu.
Dalam salah satu firman-Nya, Allah menegaskan bahwa “jiwa” manusia yang beragama adalah “menolong dan memenuhi hak bagi orang lemah”, sebagaimana Allah memberikan predikat kepada orang yang tidak mau menolong dan memenuhi hak bagi orang lemah sebagai “pendusta agama”, sebagaimana yang terdapat dalam surat Al Ma’un ayat 1 hingga ayat 7.
Mengenai spirit atau semangat menolong orang yang lemah, Allah telah berfirman,
وَفِي أَمْوَالِهِم حَقٌّ لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُوم (أية 19 من سورة الذّارِيات)
“pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tertahan (tidak mendapat bagian)”. (QS Adz Dzariat ayat 19).
Dalam ayat di atas, disebutkan bahwa sa’il dan mahrum memiliki hak yang harus ditunaikan oleh orang yang mampu. Sa’il pada umumnya ditafsirkan sebagai orang yang menyampaikan haknya kepada orang lain atau orang yang meminta. Sedangkan al mahrum, umumnya ditafsirkan sebagai orang yang berkebutuhan namun tidak meminta.
Sebenarnya ada berragam penafsiran ulama mengenai siapa yang dimaksud atau siapa saja cakupan dari golongan “al-mahrum”.
Menurut Al Qurzi, sebagaimana dikutip oleh Al Qurthubi, penulis kitab tafsir klasik dalam kitabnya, Al Jami’ li Ahkam Al Qur’an, jilid 19 halaman 483, mengatakan bahwa golongan “al-mahrum” bisa juga mencakup orang-orang yang sedang tertimpa musibah (bencana).
Dengan tercakupnya korban bencana dalam makna dan golongan “al-mahrum”, maka korban bencana sebenarnya memiliki hak untuk menerima bantuan yang menjadi tanggungjawab pihak lain terhadap mereka. Dengan kata lain, memberikan pertolongan kepada orang yang terkena bencana atau sedang mengalami dampak negatif dari bencana adalah sebuah kewajiban dalam agama Islam.
Karena merupakan hak, maka bantuan kepada korban bencana harus memenuhi standar kelayakan minimal. Ini sama halnya dengan menunaikan zakat yang harus memenuhi syarat-syarat tertentu untuk dapat ditunaikan. Oleh karena itu, bantuan bencana tidak dapat diberikan ala kadarnya, tetapi harus berdasarkan suatu kerangkan minimal yang ditetapkan.
Sumber: Himpunan Putusan Tarjih (HPT) jilid 3 Bagian Keempat, Pembahasan Kedua tentang Fikih Kebencanaan hal. 625-628, dengan penyesuaian.