MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA—Jika seorang perempuan mengalami haid sebelum atau pun ketika sedang melakukan haji, maka ia tidak melakukan thawaf, namun tetap melakukan seluruh perbuatan haji lainnya.
Pun demikian dengan jika seseorang terkena najis yang tidak mungkin dibersihkan, seperti orang yang selalu kencing terus menerus atau perempuan yang sedang istihadah—darah yang tidak ada henti-hentinya setelah haid—menurut kesepakatan ulama, tidak mengapa ia tidak melakukan tawaf dan tidak dikenakan sangsi apa pun.
Hal ini didasarkan kepada hadis Nabi saw:
Dari Aisyah r.a. [diriwayatkan bahwa] ia berkata: Kami keluar [dari Madinah menuju Mekah] dengan niat berhaji saja sehingga ketika kami sampai di Sarif atau mendekatinya aku haid, lalu Nabi saw mendatangiku ketika aku sedang menangis, lalu beliau bertanya: Apakah engkau keluar darah? Maksud beliau haid. ‘Aisyah melanjutkan: Aku pun menjawab: Ya. Lalu beliau bersabda: Ini adalah ketentuan yang sudah ditetapkan kepada kaum perempuan. Lakukanlah apa yang dilakukan oleh jamaah haji lainnya. Hanya saja jangan melakukan tawaf, hingga engkau mandi [H.R. Muslim].
Juga hadis berikut ini:
Dari ‘Abdullah Ibn Sufyan [diriwayatkan] bahwa pernah duduk bersama ‘Abdullah Ibn ‘Umar, lalu seorang perempuan datang meminta fatwa kepadanya, seraya bertanya: Ketika aku sudah siap untuk melakukan tawaf, tiba-tiba ketika sudah sampai di pintu masjid, keluar darah. Lalu aku pulang ke rumah dan aku tunggu hingga berhenti. Lalu aku pergi lagi ke masjid hingga ketika sampai di pintu, keluar darah kembali. Maka aku pulang ke rumah dan aku tunggu hingga berhenti. Lalu aku pergi ke masjid lagi hingga ketika sampai di pintu, keluar darah lagi”. ‘Abdullah Ibn ‘Umar menjawab: Itu merupakan goncangan dari setan, maka mandilah, lalu ikatlah dengan kain (pembalut), lalu tawaflah [HR. Malik dalam al-Muwaththa].