MUHAMMADIYAH.OR.ID, LAMPUNG—Warga Muhammadiyah jangan mudah silau dengan organisasi atau gerakan keislaman yang mengaku merujuk kepada Al Qur’an dan Hadits, sebab meski konsepnya sama akan tetapi cara memahaminya bisa jadi sangat berbeda dengan cara yang dimiliki Muhammadiyah.
Muhammadiyah melalui Majelis Tarjih dan Tajdid telah memiliki kodefikasi untuk memahami Al Qur’an dan Hadist, yakni melalui pendekatan bayani, burhani, dan irfani. Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir mengingatkan warga Muhammadiyah supaya dalam menjelaskan Al Qur’an dan Hadits harus melalui pendekatan tersebut.
Termasuk dalam konteks perintah amar ma’ruf nahi munkar, warga Muhammadiyah juga harus memahaminya dengan kodifikasi yang telah dibuat oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah. Tidak boleh hanya diperkeras dan menonjol pada sisi nahi munkar nya saja, sebab dalam konteks perintah dakwah juga ada An Nahl ayat 125.
“Poin penting saya adalah ar ruju’ ila qur’an wa sunnah itu harus dipahami dengan pendekatan bayani, burhani, dan irfani yang interkoneksi antara satu sama lain, mendalam dan luas, serta ada ilmunya bukan sembarangan,” ucap Haedar pada, Jumat (18/3) di acara Silaturahmi dan Konsolidasi Organisasi Muhammadiyah se-Sumatera Bagian Selatan.
Haedar menjelaskan, bahwa memahami Al Qur’an dan Hadits tidak boleh berhenti hanya pada satu orang berilmu, melainkan harus dilanjutkan dengan istiqra’ ma’nawi melengkapi dari sisi keilmuan lain, yang memiliki ilmu lebih tinggi. “Itulah tradisi dalam dirasah islamiyah kita, yang kadang kita kering soal itu, itulah penting untuk dipahami,” imbuhnya.
Termasuk dalam Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah (MKCHM), konsep ar ruju’ ila qur’an wa sunnah diberi penegasan dengan mengembangkan akal-pikiran sesuai dengan jiwa ajaran Islam. Penjelasan ini menjadi penguat bahwa, aspek akal dan pikiran bagi Muhammadiyah tidak boleh dilupakan dalam memahami Al Qur’an dan Hadist.
“Jadi akal dan pikiran kita itu masuk di dalam alat memahami, yang kemudian dibungkus dengan ijtihad. Di dalam masalah lima disebut dengan ma hiyal qiyas, di bagian kelima. Ijtihad. Ada organisasi Islam yang ar ruju’ ilam qur’an wa sunnah tapi tidak mengembangkan ijtihad,” tuturnya.
Terdapat juga organisasi Islam yang sama menggunakan konsep ar ruju ilam qur’an wa sunnah, namun hanya kuat pada bayani atau teks saja, tapi burhani atau konteks dan irfani atau aspek rasa tidak masuk dalam metodologi mereka dalam memahami Al Qur’an dan As Sunnah. Persamaan ini sering menjadi pintu masuk ideologi lain ke dalam Muhammadiyah.