MUHAMMADIYAH.OR.ID, BANTUL—Allah Swt berfirman, “tiadalah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku” (QS. Al-Zariyat: 56). Pernyataan dalam ayat tersebut mengandung arti bahwa manusia dan jin adalah pihak yang terkenan beban (taklif) untuk beribadah kepada Allah. Namun, apakah semua hukum Allah itu adalah beban?
“Apakah syariat yang ditetapkan Allah itu memiliki maksud dan tujuan? Ataukah syariat itu hanya bersifat ta’abudi (taken for granted) dan ghair ma’qulat al-ma’na (tanpa perlu dipikirkan)? Terus apa yang dimaksud dengan al-ahkam al-taklifiyah itu?” tanya Qaem Aulassyahied dalam acara yang diselenggarakan Pimpinan Daerah Muhammadiyah Bantul pada Rabu (20/10).
Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah ini menjelaskan bahwa meskipun menggunakan frasa ‘taklifi’, tidak berarti semua hukum Islam itu bermakna beban yang memberatkan kehidupan manusia.
Pasalnya, tidak sedikit hukum Allah yang memberikan ketenangan batin, kebahagiaan jiwa, dan kesejahteraan pikiran. Hal tersebut akan didapatkan apabila menyadari makna terdalam dari ketetapan hukum-hukum Allah.
“Ulama telah sepakat bahwa semua hukum-hukum syariat ditetapkan untuk tiga hal pokok, yaitu memelihara kemaslahatan mukallaf, menjauhkan dari mafsadat dan mewujudkan kebaikan tertinggi untuk mereka,” terang Qaem sambil mengutip pendapatnya Yusuf Al-Qaradlawi.
Dosen Studi Islam Universitas Ahmad Dahlan ini kemudian menunjukkan ayat-ayat tentang Maqashid yang menjelaskan bahwa penetapan hukum dalam Islam memiliki tujuan. Di antara tujuan tersebut ialah Islam hadir untuk membawa rahmat bagi semesta alam (QS. Al Anbiya: 107), menjadi penyembuh dan petunjuk bagi orang-orang beriman (QS. Yunus: 57), dan tidak membawa kesulitan (QS. Al Maidah: 6).
“Perintah salat, perintah untuk bersuci itu pada hakikatnya tidak hanya ibadah saja tapi ada juga kehendak Allah agar perintah itu tidak menjadi kesusahan bagi kita semua. Kalau pun ada masyaqqah atau kesusahannya, pasti kesusahan itu tidak akan di luar kemampuan kita,” tegas alumni Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah ini.
Dengan demikian, segala kaidah dan teori dalam fikih (beserta dengan ushul fikih), sebagaimana ungkapan al-Syatibi dalam al-Muwafaqat, selalu diarahkan dalam rangka menangkap maksud Tuhan sekaligus mencari jalan yang paling mashlahat untuk dunia dan akhirat.