MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA – Sebelum adanya pelembagaan amil untuk pengelolaan zakat yang dilakukan oleh Muhammadiyah pada awal abad 20, potensi zakat kerap dimonopoli oleh elite agama setempat.
Hal itu disampaikan oleh Pengamat Sejarah Muhammadiyah, Ghifari Yuristiadhi Masyhari Makhasi saat dalam wawancara yang dilakukan oleh reporter muhammadiyah.or.id pada Jumat (5/4) di Kantor PP Muhammadiyah Yogyakarta.
Mengutip yang disampaikan oleh Sekretaris Kiai Sudja’ yang bernama Djirowongso, Ghifari menyampaikan, situasi di Kampung Kauman – sebelum Muhammadiyah mengelola zakat, zakat dikelola oleh Kawedanan Pengulon.
“Jadi zakat fitrah pada waktu itu untuk Kiai Penghulu, dan kiai-kiai lainnya (termasuk di tempat lain). Jadi fungsi sosial dari zakat fitrah itu tidak ada,” ungkap Ghifari.
Melalui pengelolaan zakat, Muhammadiyah berkontribusi besar dalam menegakkan kembali fungsi sosial agama melalui pendistribusian Zakat Fitrah. Kegiatan pengelolaan zakat oleh Muhammadiyah di masa awal dilakukan oleh Bahagian PKO.
Pada awal abad 20, pengelolaan zakat yang dilakukan oleh Muhammadiyah berbuah manis, sebab agama kembali menjadi solusi atas kemiskinan dan kelaparan di masa itu.
Bahkan ketika Muhammadiyah melakukan pengelolaan Zakat Fitrah untuk dibagikan kepada masyarakat membutuhkan, seringkali beras yang dibagikan itu kurang. Kenyataan itu menjadi gambaran betapa membutuhkan masyarakat atas santunan.
“Sebelum Muhammadiyah menghadirkan fungsi baru agama yang lebih seharusnya itu, ya zakat untuk kalangan elite agama,” kata Dosen Vokasi Universitas Gadjah Mada (UGM) ini.
Selain membagikan beras kepada kaum dhuafa’ dan mustadh’afin, Muhammadiyah juga sering menyelenggarakan makan bersama pasca Salat Id. Ghifari menduga, tradisi makan pasca Salat Id ini menjadi cikal bakal adanya tradisi halal bi halal.