MUHAMMADIYAH.OR.ID, BANTUL – Salah satu bentuk iman adalah mencintai sesama, bahkan kepada yang berbeda agama sekalipun. Saling menghargai, tidak memusuhi, bersahabat, bertetangga dan bertegur sapa. Itu merupakan wujud Islam yang dicintai oleh nabi. Selain itu, di antara ciri orang bertaqwa, walkaziminal ghaiz, menahan marah. Marah itu manusiawi apalagi jika hak kita diganggu atau direndahkan.
Hal tersebut disampaikan Haedar Nashir ketika menjadi Pembicara dalam Refleksi Akhir Tahun Masjid Husnul Khatimah, Rabu (28/12).
“Maka kalau orang islam marah, kalau dia berdiri harus duduk. Kenapa? Karena kalau berdiri bisa apa saja. Di saat duduk masih marah, berbaring tapi kalau berbaring masih marah, ambil air wudhu karena setan itu bersama denyut peredaran darah. Kalau sudah wudhu masih marah, sholat. Dan kalau masih marah, kebangetan. Harus ada turun tensi marah. Itulah iman,” terang Haedar.
Iman itu, kata Haedar, juga perlu ilmu. “Iman disetarakan dengan ilmu. Berbahagia anak-anakku sekalian diberi kesempatan kuliah dan sekolah. Ingat di banyak tempat, banyak anak bangsa yang tidak dapat kuliah. Kami PP Muhammadiyah maupun perguruan tinggi Muhammadiyah membuka program beasiswa, itupun terbatas karena kita swasta. Kemarin ketika di Jakarta saya menerima Dubes Kenya, lalu karena Kenya itu masih banyak persoalan, meskipun disana mayoritas kristen tapi banyak komunitas muslim, lalu sebagai konsekuensi dari kita berbagi, PP Muhammadiyah menawarkan 20 beasiswa bagi warga kenya dan pak dubes alhamdulillah senang sekali. Muhammadiyah memang sekarang juga melaksanakan peran-peran internasional yang bersifat kemanusiaan dan pendidikan. Kita bangun masjid di Uganda. Kemudian kita bikin Muhammadiyah University di Malaysia. Kita buka Muhammadiyah Australia College di Melbourne. Kita punya 2 lahan luas disana, total ada 14 hektar dan sudah ada sekolahnya. Bahkan tahun ini kita dapat SMP, diizinkan dengan standar Australia. Itu cara kita Muhammadiyah dan kita semua untuk hadir menebar ilmu agar kita bisa membangun peradaban Khairo Ummah,” jelas Haedar.
Maka, kecerdasan itu harus dilatih. Tapi pada saat yang sama, lanjut Haedar, orang Indonesia itu kalau di media sosial cerdas-cerdas bikin berbagai program yang menipu.
“Seakan-akan dia sukses padahal itu cuman bikinan. Tingkat daya saing kita itu nomor 7 di ASEAN. Ini penting buat kita. Tradisi ilmu. Di rumah manfaatkan untuk membaca. Maka yang diomongkan di media sosial itu memang harus ilmu. Tingkat digility orang Indonesia dalam menggunakan digital sangat rendah. Coba liat sumpah serapah di medsos. Apalagi mendekati pemilu. Pemilu itu biasa aja, yang suka pilih, yang ga suka jangan di benci. Kalah semestara kecewa boleh. Kalau yang dipilih keliru, luruskan,” papar Haedar.