Bagi korban bencana, tidak ada alasan untuk “merasa sendiri”, mereka tetap harus memiliki harapan yang kuat untuk menggapai kehidupan yang lebih baik. Dengan sikap ini, para korban bencana tetap harus percaya bahwa “di luar” dirinya banyak orang lain yang peduli dan memiliki solidaritas kepada mereka.
Harapan untuk mengarungi hidup di masa depan harus dibangun berdasarkan keyakinan akan adanya kepedulian orang lain dan karena Allah tidak menghendaki orang yang berputus asa. Sebagaimana firman Allah,
يَا بَنِيَّ اذْهَبُوا فَتَحَسَّسُوا مِنْ يُوسُفَ وَأَخِيْهِ وَلاَ تَيْأَسُوْا مِنْ رَّوحِ اللهِ إنَّهُ لاَ يَيْأَسُوا مِنْ رَوْحِ اللهِ إِلاَّ القَوْمُ الكَافِرُونِ (أية 87 من سورة يوسف)
“Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir” (QS Yusuf :87).
Putus asa tidak akan mengubah kondisi kehidupan seseorang ketika ditimpa bencana. Dengan demikian, pilihan untuk bangkita dan menyongsong masa depan dengan tetap menjadikan peristiwa yang telah berlalu adalah modal terbesar untuk memperbaiki kehidupan di masa yang akan datang.
Selain semangat untuk bangkit dan keyakinan akan adanya pertolongan dari orang lain, sikap penting lainnya yang harus dimiliki setelah bencana terjadi adalah syukur dan sabar. Pada saat manusia ditimpa dengan kebaikan maka harus bersyukur pada Allah, karena hal itu merupakan ujian berupa hasanat (kebaikan).
Menurut Muhammad ‘Abduh dalam kitabnya, Tafsir Surah Al Fatihah wa Juz ‘Amma, bersyukur (asy syukr) dilakukan dengan hati, secara lisan dan perbuatan, dan ini berbeda dengan memuji (al hamdu) yang bermakna pujian dengan lisan saja.
Syukur secara hati adalah kemantapan dan keikhlasan hati dalam menerima kebaikan dari Allah yang diikuti dengan pujian kepada Allah dengan mengucapkan alhamdu lillahi rabbil ‘alamin. Kemudian syukur dilanjutkan dengan perbuatan yakni menggunakan seluruh kebaikan yang telah diberikan oleh Allah untuk kebaikan-kebaikan kembali kepada seluruh makhluk.
Dengan sikap ini maka Allah akan menambah kebaikan pada seseorangn tersebut sebagaimana firman Allah,
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئْنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِدَنَّكُمْ وِلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيْد… (أية 14 من سورة الأعراف)
“Dan (ingatlah juga) tatkala Tuhanmu memberitahukan, ‘sesungguhnya jika kamu bersyukur maka pasti akan Kami tambah (nikmat) padamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih” (QS Al A’raf :14).
Sumber: Himpunan Putusan Tarjih (HPT) jilid 3 Bagian Keempat, Pembahasan Kedua tentang Fikih Kebencanaan hal. 628-630, dengan penyesuaian.