MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA — Penelusuran mengenai praktik i’tikaf, Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Nur Kholis, menyoroti variasi pengertian dari berbagai ulama. Sebagaimana dijelaskan, i’tikaf bermakna berdiam diri dan menetap dalam sesuatu. Namun, pengertian ini dapat beragam tergantung pada perspektif ulama yang merumuskannya.
Menurut penelusuran Nur Kholis, beberapa ulama memiliki pandangan berbeda mengenai konsep i’tikaf. Salah satunya adalah pandangan Hanafiyah, yang menganggap i’tikaf sebagai berdiam di masjid yang biasa digunakan untuk salat berjamaah. Sementara Imam Syafi’i memaknainya sebagai berdiam diri di masjid dengan melakukan amalan-amalan tertentu dengan niat karena Allah.
Dalam keputusan Pimpinan Tarjih Muhammadiyah, yang terdokumentasikan dalam buku Tuntunan Ramadan, i’tikaf dijelaskan sebagai berdiam diri di masjid dalam jangka waktu tertentu sambil melakukan amalan-amalan atau ibadah tertentu dengan harapan mendapatkan ridha Allah SWT.
Nur Kholis juga mengaitkan praktik i’tikaf dengan dalil Al-Qur’an, merujuk pada Surat Al-Baqarah ayat 187, di mana pada akhir ayat tersebut disebutkan. Selain itu, dalam hadis disebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW secara rutin melaksanakan i’tikaf di sepuluh hari terakhir Ramadan sepanjang hidupnya, dan setelah wafat, kebiasaan ini dilanjutkan oleh istri-istrinya. “I’tikaf adalah kebiasaan yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, sehingga sebagai umat Islam, kita seharusnya mengikutinya,” tuturnya.
Dalam penelusuran lebih lanjut, Nur Kholis juga mengutip tafsir Al-Misbah karya Quraish Shihab yang menjelaskan bahwa Lailatul Qadr tidak selalu jatuh pada malam ganjil saja. “Menyongsong kedatangan Lailatul Qadr harus dipersiapkan jauh-jauh hari sebelumnya, bahkan sudah sejak awal Ramadan,” terangnya dalam kajian Program I’tikaf di Masjid Islamic Center Universitas Ahmad Dahlan pada Sabtu (30/03).
Lebih lanjut, Nur Kholis menyampaikan bahwa terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama mengenai waktu i’tikaf. Ada yang berpendapat bahwa i’tikaf dapat dilakukan selama 24 jam, sementara menurut Hanafiyah, i’tikaf dapat dilakukan hanya sebentar saja. Menurut Malikiyah, i’tikaf harus dilaksanakan minimal selama satu malam. Hal ini menyebabkan para ulama tidak menentukan waktu spesifik untuk i’tikaf, namun dalam kesimpulannya, Majelis Tarjih menekankan bahwa i’tikaf dalam waktu yang lebih lama lebih utama, terutama pada waktu-waktu tertentu.
Terkait tempat i’tikaf, Nur Kholis menyatakan bahwa ada perbedaan pendapat di antara ulama. Ada yang mengatakan bahwa i’tikaf dapat dilakukan di masjid yang digunakan untuk salat berjamaah, sementara yang lain mengatakan bahwa i’tikaf juga dapat dilakukan di masjid yang digunakan untuk shalat Jum’at. Namun, yang jelas adalah bahwa i’tikaf harus dilakukan di dalam masjid.
Dalam menjalankan i’tikaf, Nur Kholis menekankan beberapa aktivitas yang dapat dilakukan. Pertama, melaksanakan salat sunnah, salat Tahiyyatul Masjid, salat malam, dan lain-lain. Kedua, memperbanyak bacaan Al-Qur’an dan mengikuti kajian agama. Ketiga, berzikir, berdoa, dan membaca buku-buku yang bermanfaat untuk meningkatkan pemahaman agama dan spiritualitas.