MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA — Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir, menyampaikan keprihatinan atas penolakan terhadap gagasan moderasi. Mereka yang menolak berpandangan bahwa moderasi tidak bersumber dari tradisi Islam yang otentik, melainkan dipengaruhi oleh pandangan Barat, sehingga istilah yang lebih tepat adalah wasathiyah.
Beberapa pihak yang menolak gagasan moderasi mungkin terbilang sebagai arus kecil, namun kegaduhan yang mereka timbulkan terasa sangat kencang. Akibatnya, terkadang terlihat seolah-olah penolakan tersebut merupakan arus utama yang besar. Hal ini menandakan bahwa upaya untuk mempromosikan pemahaman yang moderat dalam Islam tidaklah selalu mudah, dan seringkali dihadapi dengan resistensi yang kuat dari sebagian kecil namun vokal dalam Muhammadiyah.
Dalam acara Pengajian Ramadan 1445 Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta pada Kamis (14/03), Haedar menegaskan bahwa konsep moderasi dan wasathiyah sebenarnya memiliki makna yang sama. Ia menekankan bahwa kedua istilah tersebut tidak perlu dipertentangkan, karena perbedaan hanya terletak pada aspek bahasa, bukan substansinya. Secara substansial, keduanya mengandung arti tengah atau tidak ekstrem dalam pandangan atau tindakan.
Dalam konteks Indonesia, Haedar menekankan bahwa prinsip moderasi telah tertanam sejak awal. Dalam proses integrasi berbagai suku menjadi satu bangsa, terjadi proses interaktif dan moderat. Suku-suku lokal dan agama-agama setempat mengalami transisi dan integrasi dengan cara yang damai. Indonesia, sebagai bangsa yang memegang teguh moderasi, menunjukkan bukti dari segi keagamaan, di mana Islam diterima secara penuh karena ajaran moderatnya.
Muhammadiyah, sebagai bagian dari kerangka keagamaan Indonesia, juga diimbau untuk memprioritaskan sisi moderat dalam upaya mengembalikan kepercayaan akar rumput. Haedar menekankan pentingnya bagi warga Muhammadiyah untuk tetap waspada dan tidak terbawa arus keras yang dapat mengancam kestabilan, agar mereka tetap istiqamah dalam sikap wasathiyah tanpa kehilangan prinsip-prinsip yang menjadi landasan keberadaan mereka.
“Indonesia merupakan bangsa yang memegang teguh moderasi. Buktinya dari segi keagamaan, islam diterima secara penuh di Indonesia karena ajaran moderatnya. Muhammadiyah juga kalau ingin mengembalikan kepercayaan akar rumput maka harus kedepankam sisi moderat,” ucap Guru Besar Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ini.