Oleh: Nabhan Mudrik Alyaum
Salah satu ujung tombak Muhammadiyah adalah gerakan pendidikan. Bahkan lebih dari itu, pendidikan adalah trademark Muhammadiyah. Pendiri Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan pun telah melakukan gerakan pendidikan sejak 1911 di rumah beliau. Gerakan ini yang di kemudian hari menjadi Qismul Arqa (cikal-bakal Madrasah Mu’allimin dan Mu’allimaat Muhammadiyah).
Paparan ini disampaikan oleh Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti pada Pembukaan Pendidikan Khusus Kepala Sekolah/Madrasah (Diksuspala) Sumatra Region 1 di Kota Metro, Lampung pada 25 April 2024.
Dalam agenda ini, Abdul Mu’ti menyampaikan tiga modal penting keberhasilan amal usaha pendidikan Muhammadiyah.
Modal Sejarah
Pertama, modal sejarah. Pendidikan Muhammadiyah itu adalah amal usaha yang pertama dan utama Muhammadiyah. Paling pertama tentu saja faktor sejarah pendirian sekolah Muhammadiyah. Paling utama karena amal usaha yang telah mapan dan paling banyak adalah dalam bidang pendidikan.
Saat ini, sekolah Muhammadiyah telah berkembang pesat di Indonesia. Meski begitu perlu penguatan dari sisi data. Saat ini Majelis Dikdasmen PNF PP Muhammadiyah telah menyelesaikan pendataan tersebut. Mulai dari jumlah sekolah, profil sekolah muhammadiyah, hingga keterangan lain seperti jumlah siswa dan keadaan guru. Ini adalah fokus kita untuk mengembangkan pendidikan berbasis data, bukan lagi menurut perkiraan.
Dengan modal sejarah ini, mestinya insan pendidikan Muhammadiyah mulai berpikir besar. Prinsipnya, Muhammadiyah tidak hanya “to recount” tapi juga “to accrue”, meraih apa yang seharusnya diraih oleh Muhammadiyah dengan modal sejarah dan jumlah besar.
Terlebih lagi saat ini mayoritas keadaan sekolah Muhammadiyah ada di klaster B, yaitu tidak buruk, tapi juga keadaannya tidak bisa dibilang baik. Ditinjau dari keadaan bangunan sekolah, mayoritas sekolah Muhammadiyah berada pada kondisi menengah atau menengah ke bawah. Hanya sedikit yang dalam keadaan sangat baik.
Ditinjau dari jumlah peserta didik, saat ini sekolah Muhammadiyah memiliki 1.055.000 siswa se-Indonesia Muhammadiyah. Jumlah ini ditargetkan meningkat, mencapai 50% atau bahkan diupayakan hingga 100% dalam satu tahun ke depan.
Modal Filosofis
Modal selanjutnya adalah modal filosofis. Kiai Dahlan telah meletakkan dasar-dasar filsafat Muhammadiyah. Bagaimana Kiai Dahlan bercita-cita melahirkan muslim yang intelek dan intelek yang muslim, juga intelek yang ulama dan ulama yang intelek.
Hal ini berangkat dari ungkapan, dadio kiai sing kemajuan lan ojo kesel anggonmu nyambut gawe kanggo Muhammadiyah” (jadilah kiai yang berkemajuan dan jangan pernah lelah bekerja untuk Muhammadiyah). Kiai oleh Abdul Mu’ti didefinisikan sebagai orang yang memiliki kedalaman ilmu agama. Karenanya perlu dilengkapi dengan prinsip kemajuan agar juga menjadi intelek.
Dari prinsip tersebut, Muhammadiyah perlu mengembangkan keunggulan dalam keilmuan. Lima tingkatan keunggulan tersebut adalah: ulul ilmi (memiliki ilmu), ulul albab (memiliki kecerdasan hati), ulul abshar (memiliki visi dan pandangan jauh ke depan, ulinnuha (memiliki kecerdasan), rasikhuna fil ilm (memiliki kedalaman ilmu).
Saat ini kiai yang berkemajuan itu diwakili oleh guru, kepala sekolah, dan insan pendidikan Muhammadiyah yang memiliki visi jauh ke depan. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan menguasai berbagai disiplin ilmu di luar disiplin agama. Hal ini juga yang diterapkan oleh sekolah Muhammadiyah masa awal, yaitu dengan melakukan pembaruan pendidikan formal dengan mengombinasikan ilmu agama dengan ilmu umum.
Lebih lanjut lagi, guru-guru di sekolah/madrasah Muhammadiyah harus dapat menjelaskan al-Quran dari berbagai disiplin ilmu. Sehingga penjelasan tidak hanya berdasarkan tafsir-tafsir klasik. Abdul Mu’ti memberikan contoh dengan sejarah pelurusan kiblat.
Saat itu, Kiai Dahlan dengan sangat berani mengubah arah kiblat Masjid Gedhe Kauman, Yogyakarta. Upaya ini ditentang oleh masyarakat dan otoritas keagamaan pada masa itu. Bahkan Kiai Dahlan sampai dituduh sebagai kiai kafir. Tetapi saat ini semua masjid di Indonesia berusaha untuk meluruskan kiblat, mengikuti apa yang telah dilakukan Muhammadiyah seabad lalu.
Soal ilmu agama dan ilmu umum di sekolah, Kiai Dahlan juga ditentang, karena ilmu umum saat itu dipandang sebagai ilmu kafir. Tapi Kiai Dahlan dan Muhammadiyah berkeyakinan bahwa tidak ada ilmu agama dan ilmu kafir. Karena sumber ilmu itu dari Allah (allamal insana maa lam ya’lam).
Lalu semua ini perlu dilakukan untuk memastikan Muhammadiyah terus berkemajuan dan berkembang. Prinsipnya, ojo kesel anggonmu nyambut gawe kanggo Muhammadiyah. Ini sebagai upaya agar pendidikan Muhammadiyah melahirkan apapun, seperti guru, meester, dan insinyur yang ada dalam pesan Kiai Dahlan. Sekolah/madrasah Muhammadiyah perlu menunjukkan kompetensi, militansi, serta komitmen memajukan persyarikatan umat dan bangsa.
Modal Nama Baik
Modal ketiga adalah modal sosial politik atau modal nama baik. Ini modal yang sangat besar di mana masyarakat berkesimpulan sekolah Muhammadiyah itu bagus. Muhammadiyah bahkan sudah punya sekolah di Australia, kampus Muhammadiyah di Malaysia, serta TK di Kuala Lumpur dan Kairo.
Nama besar Muhammadiyah ini modal untuk sukses. Karenanya, kalau sampai ada sekolah Muhammadiyah yang mati, itu terlalu. Karena sudah punya modal sejarah, modal filosofis, dan modal nama baik, mengapa bisa bermasalah?
Belajar dari pengalaman sekolah/madrasah Muhammadiyah yang telah berkembang pesat, cara kita mengelola sekolah tidak boleh dengan cara business as usual. Tidak boleh hanya sebatas mengelola sekolah Muhammadiyah. Tapi spirit pembaharuan, inovasi, dan transfer nilai harus terus melekat
Dengan modal-modal ini kita harus maju, regain, merebut kembali sejarah Muhammadiyah. Itu yang harus kita perjuangkan agar sekolah Muhammadiyah tidak inferior atau bahkan mengalami “tragedy of the common” terpuruk karena menjadi sekolah yang common, ordinary, biasa-biasa saja.
Kepala sekolah harus menjadi kepala sekolah pesulap yang dapat membawa inovasi dan perkembangan secara pesat. Bukan hanya menjadi kepala sekolah pemimpi yang idenya banyak tetapi tidak dapat merealisasikan. Bukan pula pecundang yang bermental inferior dan serba berpikiran sempit.
Selanjutnya sekolah/madrasah Muhammadiyah juga harus agile, lincah. Dapat menyesuaikan dengan keadaan sulit dan yang membatasi ruang gerak sekolah/madrasah Muhammadiyah. Growth mindest juga diterapkan agar keadaan yang sudah baik menjadi makin baik, dengan inovasi dan pembaruan terus menerus lahir.
Selain itu sekolah/madrasah Muhammadiyah juga harus lebih kencang dalam syiar. Terlebih lagi saat ini banyak informasi hebat dari sekolah Muhammadiyah tidak disampaikan, tidak dikapitalisasi, tidak dipasarkan. Syiar dan komunikasi perlu betul-betul dilakukan untuk membuat nama dan prestasi sekolah/madrasah Muhammadiyah terus dikenal oleh masyarakat.
Inilah tiga modal penting untuk pengembangan sekolah Muhammadiyah. Modal yang perlu dimaksimalkan agar regain our name as the reformers of the formal education. Menegaskan Muhammadiyah sebagai reformis pendidikan formal di Indonesia.