MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA— Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Syamsul Anwar mengkaji kitab At-Taqwim al-Qamari al-Islami al-Muwahhad karya Jamaluddin ‘Abd al-Raziq. Kajian yang diselenggarakan secara rutin tiap hari Ahad ini menggunakan metode ala pesantren tradisional yaitu sorogan. Jadi, peserta kajian membaca kitabnya lalu Syamsul Anwar bertindak sebagai pembimbingnya.
Pada Ahad (23/10), materi yang dibahas mengenai problematika transfer imkan rukyat dalam konsepsi kalender Islam. Menurut Syamsul, masalah transfer imkan rukyat merupakan kelanjutan dari masalah penggunaan hisab dalam tata kalender. Sehingga problematika metode penentuan awal bulan sesungguhnya belum berakhir. Andaipun seluruh umat Islam sepakat menggunakan hisab, masalah baru muncul: apakah mereka sepakat juga dengan konsep transfer imkan rukyat?
“Masalah transfer (imkanu) rukyat menduduki tempat kedua setelah masalah penggunaan hisab dan tidak mungkin dipecahkan tanpa menerima prinsip penggunaan hisab,” tutur Syamsul.
Berdasarkan kitab karya ‘Abd al-Raziq ini, terdapat tiga pandangan terkait transfer imkan rukyat. Pendapat pertama berpegang kepada “perbedaan matlak.” Pendapat ini membolehkan transfer imkanu rukyat dengan syarat kedua negeri itu berada dalam jarak tertentu. Dalam konteks ini disebutkan pula syarat bahwa kedua negeri itu mengalami malam yang sama (persekutuan malam).
Pendapat kedua berpegang kepada prinsip bahwa “tiap-tiap negeri memiliki matlak sendiri.” Ini berarti bahwa setiap negeri harus melakukan rukyat sendiri secara lokal. Pendapat ketiga menganggap bahwa kaum Muslimin di seantero dunia merupakan satu umat. Oleh karena itu apabila di suatu tempat sekelompok orang Muslim berhasil melakukan rukyat, maka rukyat itu berlaku untuk seluruh kaum Muslimin.
Dalam menyusun kalender Islam Global, pandangan yang ketiga merupakan pilihan yang tepat dijadikan sebagai pegangan. Prinsip ini berangkat dari fakta bahwa imkan rukyat ini tidak bisa meliputi seluruh kawasan dunia. Karenanya, imkanu rukyat yang terjadi di tempat tersebut ditransfer ke kawasan yang belum mengalami imkan rukyat. Dengan kata lain daerah yang hilalnya masih di bawah ufuk diikutsertakan kepada kawasan yang sudah mengalami imkan rukyat, dan karena itu ikut memulai bulan baru.
“Masalah ini memiliki arti yang amat penting. Tanpa memegangi hisab dan tanpa menerima transfer [imkanu] rukyat menurut cara yang telah dikemukakan di atas, tidak mungkin menyatukan hari-hari raya dan hari-hari besar Islam,” tutur Syamsul sambil mengutip kitab karya ‘Abd al-Raziq ini.