MUHAMMADIYAH.OR.ID, MALANG – Meski makna moderasi Islam dalam 20 tahun belakangan sarat dengan politisasi pasca kejadian 9/11, akademisi Muhammadiyah, Prof. Dr. Ahmad Najib Burhani mengatakan konsep moderasi Muhammadiyah keluar dari tarikan tersebut. Dalam Sarasehan Pra-Muktamar UMM, Sabtu (3/9), dirinya menyebut Muhammadiyah menggali kembali makna moderat dalam frasa ‘Ummatan Wasathan’ di Al-Baqarah 143 dengan pemaknaan baru yang lebih segar.
“Kaitan dengan Muhammadiyah, konsep moderasi yang kita anut adalah bagaimana kita bisa berhubungan baik dengan yang berbeda, ramah terhadap keragaman, dan yang paling penting seperti penjelasan Pak Hamim Ilyas (Tarjih) soal fastabiqul khairat, berkompetisi untuk selalu menjadi yang terbaik. Atau definisi Pak Haedar Nashir yaitu membangun pusat keunggulan, jadi tangan di atas dan lebih banyak memberi daripada meminta, jadi leader daripada followers,” terang Najib.
Muhammadiyah sendiri kata dia telah serius memformulasikan makna ‘moderasi’ pada Muktamar ke-47 di Makassar untuk diwujudkan dalam kehidupan kebangsaan. Pada forum itu, definisi ‘moderat’ harus berada dalam tiga aspek yakni, paradigmatik, pragmatik, dan ontologis. Pada aspek paradigmatik, makna moderasi berawal dari pemahaman Al-Quran dan Hadis yang selama ini menjadi pegangan umat di Persyarikatan, misalnya Surat Al-Ma’un, ayat 104 dan 110 Surat Ali Imran, Al-Hujurat ayat 13 dan yang lainnya.
Pada aspek pragmatik, makna moderasi ini juga harus diimplementasikan. Untuk itu, Muhammadiyah menurut Najib telah membuat sejumlah produk keputusan di Muktamar yang mendukung implementasi Islam wasathiyah. Salah satu contohnya adalah pembangunan Amal Usaha Muhammadiyah. Dengan adanya AUM, warga Muhammadiyah dipastikan memiliki kesibukan yang jelas sehingga tidak terjebak dalam narasi memperjuangkan Islam yang sejatinya kontra-produktif.
“Jadi orang sibuk demo itu kan karena tidak punya aktivitas,” jelasnya.
“Dan Muhammadiyah jadi moderat karena konsep Al-Ma’un di bidang welfare, sosial, pendidikan, kesehatan sehingga Muhammadiyah tidak terjebak pada yang ekstrim karena ada kesibukan, aktivitas sehari-hari,” imbuhnya.
Terakhir pada sisi ontologis, Najib membawa penjelasan Allahuyarham AR Fachruddin bahwa sejatinya ada perbedaan mendasar antara fundamentalisme dalam tradisi Islam dengan tradisi Barat. Jika Barat untuk lepas dari fundamentalisme harus lari dari panduan kitab suci, maka kriteria itu tidak bisa dilakukan di Islam karena salah satu ajaran di Islam adalah berpegang pada Alquran dan Sunnah.
Namun dirinya sepakat bahwa lima ciri fundamentalisme seperti berikut harus dijauhkan dari Muhammadiyah, antara lain sikap menentang setiap kelompok atau pemahaman yang berbeda, dominasi kekuatan yang mengarah pada intoleransi dan eksklusivisme, sikap anti invididualisme, serta sikap reaktif dan defensif. (afn)