MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA—Terkait dengan banyaknya kejadian tindak kekerasan yang menimpa peserta didik di lembaga pendidikan, khususnya lembaga pendidikan Islam. Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti menyebut ini persoalan yang kompleks, bisa berdiri sendiri-sendiri dan tidak bisa digeneralisasi.
Oleh karena itu, menurut Guru Besar Bidang Pendidikan Islam ini menuturkan bahwa solusi atas persoalan tersebut tidak bisa digeneralisasi. Melihat dari sisi psikologi, imbuhnya, kekerasan yang terjadi di lembaga pendidikan Islam erat kaitannya dengan power relation (relasi kuasa). Yaitu melibatkan dua pihak yang memiliki dua kekuatan yang berbeda.
“Sebagian besar kekerasan itu dilakukan oleh mereka yang memiliki power (powerfull), memiliki otoritas kepada mereka yang memang yang dianggap lebih lemah (power less), mereka yang dhaif atau mereka yang lemah”. Tutur Mu’ti, Jumat malam (16/9) di acara Pengajian Umum yang diselenggarakan PP Muhammadiyah secara daring.
Kasus bullying yang terjadi di lembaga pendidikan menurut hemat Mu’ti terjadi akibat adanya relasi kuasa yang timpang. Kelompok perempuan yang kerap dianggap lemah sering menjadi bahan bullying, termasuk anak-anak dengan kebutuhan tertentu juga menjadi sasaran para pelaku bullying.
Selain itu, faktor lain yang menjadi pemicu tindakan bullying juga bisa disebabkan nilai prestasi akademik. Menurutnya, anak-anak atau peserta didik yang memiliki nilai akademik rendah atau di bawa rata-rata menjadi sasaran empuk pelaku bullying. Pada jenis atau faktor ini pelaku bullying lebih sering dilakukan oleh teman sebaya atau sesama peserta didik.
“Sebagian lagi disebabkan oleh faktor visi atau pandangan tentang pendidikan. Karena memang kadang-kadang sebagian dari kekerasan itu dilakukan sebagai bentuk hukuman atau punishment atas kesalahan yang dilakukan oleh peserta didik,” imbuh Mu’ti.
Seringkali kejadian punishment dianut oleh mereka yang memiliki pandangan bahwa dalam mencapai tujuan pada diri anak itu ada hadiah dan hukuman (reward and punishment). Dan hukuman yang diberikan tersebut dalam bentuk fisik, atau corporal punishment. “Seringkali hukuman itu diberikan sebagai bentuk penegakan peraturan,” sambungnya.
Tidak bisa dipungkiri bahwa faktor lain terjadinya kekerasan terhadap peserta didik ini ada juga yang didasarkan atas perintah atau wahyu dalam agama. Mu’ti mencontohkan salah satu hadis yang memerintahkan kepada orang tua untuk menyuruh anak mereka salat ketika sudah berumur 7 tahun, dan apabila sudah 10 tahun tidak mengerjakan salat, maka pukullah mereka.
“ini yang sering kali menjadi dasar bahwa memukul itu menjadi boleh, dan dimaknai secara letterlijk sebagai hukuman fisik dalam bentuk memukul. Padahal mungkin ada tafsir lain, ta’rif lain mengenai itu dan tidak selalu dimaknai fisik. Tapi juga bisa berupa peringatan yang lebih keras atau disiplin yang lebih tinggi,” ungkapnya.